Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gita Wirjawan: Penyadapan Bentuk Pengkhianatan yang Dahsyat

Kompas.com - 19/11/2013, 12:52 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com — Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menilai penyadapan yang dilakukan negara lain merupakan bentuk pengkhianatan dahsyat. Pemerintah Indonesia harus menindak tegas dengan harapan tidak akan pernah terjadi lagi terhadap Indonesia.

"Ini merupakan pengkhianatan yang dahsyat dan tinggi sehingga perlu ditindak tegas karena bagaimanapun juga tidak terjadi lagi ke depan," ujar Gita di Surabaya seperti dikutip Antara, Selasa (19/11/2013). Hal itu dikatakan Gita menanggapi isu penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah pejabat Pemerintah Indonesia oleh Australia.

Di samping ketegasan, menurut Gita, perlu ada perbaikan dalam sistem untuk mencegah hal seperti ini terjadi lagi. Apalagi sebelumnya isu serupa terjadi, tetapi bedanya dari Amerika Serikat.

Gita menjelaskan, dampak dari penyadapan ini yakni hubungan bilateral kedua negara akan terganggu. Dampaknya, akan mengancam stabilitas kedaulatan perekonomian yang melibatkan kedua negara.

Selaku orang nomor satu di Kementerian Perdagangan, pihaknya mengaku sudah mengukur baik atau tidaknya jika hubungan kedua negara terganggu. "Indonesia bersama Australia menjalin hubungan di berbagai sektor, salah satunya pertanian dan peternakan. Ini yang harus disikapi agar jangan sampai terganggu," ucapnya.

Peserta Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat tersebut menambahkan, jika terpaksa pemerintah menyikapinya dengan cara kasar, seperti menghentikan impor sapi, maka harus dilihat dulu kesiapan dan kekuatan sapi di dalam negeri. Tahun depan Indonesia diperkirakan membutuhkan 3-4 juta ekor sapi.

"Semuanya harus diukur. Seperti pemikiran jika tidak impor sapi dari Australia maka harus dikalkulasikan semuanya, termasuk bagaimana efeknya terhadap harga. Apa cukup untuk kebutuhan nasional yang meningkat 15 persen setiap tahunnya?" katanya.

Seperti diberitakan, Pemerintah Indonesia memanggil Duta Besar RI dari Australia untuk menyikapi pemberitaan penyadapan telepon Presiden SBY dan sejumlah pejabat Indonesia oleh Pemerintah Australia. Pemerintah juga akan mengkaji ulang seluruh kerja sama yang selama ini telah dibangun kedua negara.

Menurut laporan sejumlah media asing, badan mata-mata Australia telah berusaha menyadap telepon Presiden SBY dan istrinya, Ani Yudhoyono, serta sejumlah menteri dalam kabinet SBY.

Sejumlah dokumen rahasia yang dibocorkan whistleblower asal AS, Edward Snowden, yang berada di tangan Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan harian Inggris The Guardian, menyebut nama Presiden SBY dan sembilan orang di lingkaran dalamnya sebagai target penyadapan pihak Australia.

Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa badan intelijen elektronik Australia, Defence Signals Directorate, melacak kegiatan Yudhoyono melalui telepon selulernya selama 15 hari pada Agustus 2009, saat Kevin Rudd dari Partai Buruh menjadi Perdana Menteri Australia.

Daftar target penyadapan juga mencakup Wakil Presiden Boediono yang pekan lalu berada di Australia, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Juru Bicara Presiden untuk Urusan Luar Negeri, Menteri Pertahanan, serta Menteri Komunikasi dan Informatika.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Nasional
Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Nasional
Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Nasional
Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show 'Pick Me Trip in Bali'

Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show "Pick Me Trip in Bali"

Nasional
Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Nasional
Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Nasional
Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Nasional
Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Nasional
Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Nasional
Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
9 Kabupaten dan 1 Kota  Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

9 Kabupaten dan 1 Kota Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

Nasional
KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat 'Dirawat Sampai Sembuh'

KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat "Dirawat Sampai Sembuh"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com