Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

40 Persen Pasal Hasil Amandemen Keempat UUD 1945 "Tabrak" Pancasila

Kompas.com - 11/11/2013, 05:58 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Sumber ANT
JAKARTA, KOMPAS.com — Sebanyak 40 persen pasal-pasal dalam UUD 1945 disebut inkonsisten dan tak mengacu pada Pancasila. Inkonsistensi dan ketidaksesuaian tersebut dikatakan terjadi pada pasal-pasal hasil amandemen konstitusi keempat, atau amandemen terakhir pada 2002.

"Hasil amandemen keempat UUD 1945, sejumlah pasalnya tidak sesuai dengan norma-norma Pancasila," kata Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PSP-UGM) Sudjito, di Universitas Pancasila, Jakarta, Minggu (10/11/2013). Ia mencontohkan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 yang berbeda dengan Ayat 1,2, dan 3.

Pada Ayat 1,2, dan 3, ekonomi kekeluargaan atau koperasi. Namun pada ayat 4, yang diterapkan adalah prinsip dalam ekonomi kapitalis, ketika menekankan masalah daya saing. "Ini yang disebut gap atau jarak karena jika merujuk pada roh dari pasal tersebut, (Ayat 4) tidak sesuai," kata Sudjito.

Sudjito mencontohkan hal lain dalam hal demokrasi juga inkonsisten terhadap Pancasila. Dalam praktiknya, politik Indonesia saat ini cenderung mengarah ke politik liberal. Praktik politik liberal tersebut katanya lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.

Padahal, menurut sila keempat Pancasila, yang perlu dilakukan dalam berpolitik adalah musyawarah untuk mufakat. "Ini sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila," kata Sudjito.

Selain itu, Sudjito menilai pembuatan beragam peraturan daerah (perda) sekarang juga hanya berlandaskan pemikiran "semakin banyak aturan semakin baik". Pembuatan beragam perda, menurut dia, juga banyak yang hanya bertujuan mencari keuntungan semata.

"(Padahal seharusnya) hukumnya sedikit tetapi berkualitas, dan penyelenggaranya beretika dengan baik," ujar Sudjito. Namun, dia melanjutkan, hal ini tak dapat disalahkan karena memang diizinkan menurut UU. "Saya hanya menyayangkan hilangnya nilai-nilai semangat Pancasila," ucapnya.

Catatan lain dari amandemen konstitusi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila (PSP-UP) Yudi Latif menjelaskan, pada Pasal 37 UUD 1945 disebutkan mengenai NKRI, dan pasal tersebut menjadi satu-satunya pasal yang tidak boleh diamandemenkan.

Namun pada kenyataannya, kata Yudi, penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia secara praktik merujuk pada sistem feodal. Dia merujuk pemberian otonomi daerah hingga ke tingkat kabupaten sebagai dasar argumentasinya.

Lebih lanjut Yudi mengatakan, kedudukan MPR saat ini memang masih ada dalam struktur, tetapi fungsi dan kewenangannya telah berubah. MPR hanya sebagai lembaga tinggi negara, bukan lagi lembaga tertinggi negara.

Selain itu, dia mengatakan, saat ini tidak ada lagi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang digantikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Padahal GBHN disusun dengan melibatkan semua elemen bangsa sesuai dengan semangat Pancasila.

"RPJP yang hanya disusun oleh DPR sehingga yang menentukan kebijakan dasar adalah DPR, sedangkan GBHN disusun dengan melibatkan semua elemen bangsa, bukam hanya perwakilan partai," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com