Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gawat, 200.000 Orang Jadi Budak di Indonesia!

Kompas.com - 17/10/2013, 19:55 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Inilah fakta terbaru yang dikirim seorang kawan yang membuat saya miris pada Kamis siang tadi. Sebuah laporan tahunan yang diterbitkan oleh Walk Free Foundation pada Kamis (17/10) di Chatham House, London, menyebutkan, Global Slavery Index mengungkap bahwa lebih dari 200.000 orang hidup di bawah perbudakan di Indonesia!

Walk Free Foundation sendiri adalah sebuah organisasi global dengan misi untuk mengakhiri perbudakan modern di generasi kita dengan memobilisasi gerakan aktivis global, menghasilkan penelitian berkualitas tinggi, mendatangkan bantuan bisnis dan meningkatkan tingkat modal untuk mendorong terjadinya perubahan di negara-negara dan industri yang paling bertanggung jawab atas perbudakan modern saat ini.

Caranya, dengan mengidentifikasi negara dan industri yang paling bertanggung jawab atas perbudakaan modern; mengidentifikasi dan melaksanakan intervensi bersama para mitra di negara-negara dan industri yang memiliki dampak terbesar pada perbudakan modern; dan
Menilai dampak kita secara kritis.

Laporan tersebut menyebut, Asia telah menjadi tempat tinggal bagi hampir tiga perempat masyarakat dunia yang hidup diperbudak. Index yang diterbitkan setiap tahun ini, adalah laporan pertama yang memberikan pengukuran paling akurat dan komprehensif mengenai
tingkat dan risiko perbudakan modern, dan dilihat negara per negara.

Index memperkirakan bahwa terdapat lebih dari 21 juta orang yang diperbudak di Asia, atau lebih dari 72% dari total 29,8 juta orang yang diperbudak di seluruh dunia. Indonesia memiliki jumlah penduduk diperbudak terbesar ke-16 di dunia, namun berada di peringkat 114 dari 162 negara jika dilihat dalam hal proporsi penduduk di perbudakan modern. Indeks ini, juga membuat rekomendasi bagi para pembuat kebijakan di Indonesia dan seluruh dunia.

Sebagai sebuah penelitian, index tersebut mengungkap fakta, betapa warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, khususnya di kawasan Timur Tengah dan Asia-Pacific, telah dieksploitasi secara seksual, dipekerjakan secara paksa, baik dalam bidang rumah tangga,
konstruksi, perikanan dan perhotelan.

Sementara yang berada di Indonesia, jeratan hutang adalah praktik umum yang digunakan untuk memperbudak masyarakat di berbagai sektor, dengan praktek kerja paksa dan pekerja anak dibawah umur ditemukan di dalam industri kelapa sawit.

Hebatnya lagi, empat negara di Asia Tenggara muncul di dua puluh besar teratas negara dengan jumlah penduduk diperbudak terbanyak, dengan Thailand di peringkat ke-7, Myanmar ke-9, Vietnam ke-15, dan Indonesia ke-16. Thailand tetap menjadi pusat eksploitasi bersama
dengan Myanmar, Laos dan Kamboja yang memiliki risiko perbudakan tertinggi di kawasan tersebut.

Global Slavery Index juga memperkirakan ada lebih dari 29 juta orang yang hidup dalam kondisi perbudakan modern di seluruh dunia. Mauritania menempat peringkat pertama menurut Index, dengan estimasi proporsi penduduk diperbudak tertinggi dibandingkan negara lain di seluruh dunia. Negara Afrika Barat tersebut, dengan sistem perbudakan turun temurun yang telah mengakar, diperkirakan memiliki sekitar 150.000 budak dengan total populasi hanya 3,8 juta. Haiti, sebuah negara di kawasan Karibia di mana perbudakan anak juga marak terjadi,
menempati posisi kedua dengan Pakistan berada satu posisi dibawahnya.

Nick Grono, CEO dari Walk Free Foundation mengungkapkan, “Alangkah menyenangkan untuk berpikir bahwa perbudakan merupakan peninggalan sejarah, namun kenyataannya perbudakan telah meninggalkan luka mendalam pada kemanusiaan di setiap benua. Ini memang indeks perbudakan pertama namun telah dapat membentuk suatu upaya baik nasional maupun global untuk membasmi perbudakan modern di seluruh dunia. Kita sekarang tahu bahwa terdapat sepuluh negara yang menjadi tempat tinggal bagi lebih dari tiga perempat jumlah manusia yang hidup di bawah perbudakan modern. Negara-negara ini harus menjadi fokus utama upaya global.”

Profesor Kevin Bales, peneliti utama Global Slavery Index juga menambahkan, “Kebanyakan pemerintah negara tidak menggali lebih dalam ke masalah perbudakan karena alasan yang buruk. Memang ada beberapa pengecualian, namun banyak pemerintah negara yang tidak ingin tahu mengenai warganya yang tidak dapat memilih, hidup tersembunyi dan juga cenderung ilegal. Hukumnya memang ada, tapi alat dan sumber daya serta keinginan politik sangat kurang. Dan karena para budak tersembunyi ini sulit dihitung, mudah bagi pemerintah untuk berpura-pura bahwa mereka tidak ada. Index ini bertujuan mengubah semua itu.”

Maka tak heran kiranya, jika berpuluh atau beratus nyawa melayang akibat dari perbudakan ini, pemerintah terkesan cuci tangan. Padahal, bisa jadi, perbudakan di zaman modern ini berlangsung dari abainya pemerintah terhadap urusan rakyatnya sendiri.

Ironis benar situasi ini. Di kala peradaban dunia telah sedemikian hebatnya mengedepankan hak asasi manusia (HAM), pada saat yang bersamaan sebagaian manusia masih dikuasai oleh manusia lain, seperti yang terjadi ribuan tahun lalu saat manusia mulai mengenal
pertanian, sekitar 10.000 tahun yang lalu. Awalnya, para budak terdiri dari penjahat atau orang-orang yang tidak bisa membayar hutang. Ketika terjadi peperangan, kaum yang kalah juga diperlakukan sebagai budak oleh kaum yang menang.

Sejarah mencatat, perbudakan pertama-tama diketahui terjadi di masyarakat Mesopotamia (Sumeria, Babilonia, Asiria, Chaldea). Perekonomian kota yang pertama berkembang di sana, dilandaskan pada teknologi pertanian yang berkiblat pada kuil-kuil, imam, lumbung,
dan para juru tulis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Persiapan Peluncuran GovTech Makin Matang, Menteri PANRB: Langkah Akselerasi Transformasi Digital Indonesia

Persiapan Peluncuran GovTech Makin Matang, Menteri PANRB: Langkah Akselerasi Transformasi Digital Indonesia

Nasional
Megawati Minta Krisdayanti Buatkan Lagu 'Poco-Poco Kepemimpinan', Sindir Pemimpin Maju Mundur

Megawati Minta Krisdayanti Buatkan Lagu "Poco-Poco Kepemimpinan", Sindir Pemimpin Maju Mundur

Nasional
Marinir TNI AL Persiapkan Satgas untuk Jaga Perbatasan Blok Ambalat

Marinir TNI AL Persiapkan Satgas untuk Jaga Perbatasan Blok Ambalat

Nasional
PDI-P Perketat Sistem Rekrutmen Anggota, Ganjar: Itu Paling 'Fair'

PDI-P Perketat Sistem Rekrutmen Anggota, Ganjar: Itu Paling "Fair"

Nasional
Coba Itung Utang Negara, Megawati: Wow Gimana Ya, Kalau Tak Seimbang Bahaya Lho

Coba Itung Utang Negara, Megawati: Wow Gimana Ya, Kalau Tak Seimbang Bahaya Lho

Nasional
Megawati: Kita Cuma Seperempat China, Gini Saja Masih Morat-Marit dan Kocar-Kacir Enggak Jelas

Megawati: Kita Cuma Seperempat China, Gini Saja Masih Morat-Marit dan Kocar-Kacir Enggak Jelas

Nasional
PDI-P Perketat Diklat untuk Caleg Terpilih Sebelum Bertugas

PDI-P Perketat Diklat untuk Caleg Terpilih Sebelum Bertugas

Nasional
Pengamat Sebut Hasil Rakernas 5 PDI-P Jadi Sinyal Partai Banteng Oposisi Prabowo-Gibran

Pengamat Sebut Hasil Rakernas 5 PDI-P Jadi Sinyal Partai Banteng Oposisi Prabowo-Gibran

Nasional
98 Persen Jemaah Gelombang Pertama Belum Pernah Berhaji

98 Persen Jemaah Gelombang Pertama Belum Pernah Berhaji

Nasional
Ahok: Saya Enggak Gitu Paham Sumut...

Ahok: Saya Enggak Gitu Paham Sumut...

Nasional
Ahok Ungkap Tugas dari Megawati

Ahok Ungkap Tugas dari Megawati

Nasional
Patroli dengan AU Malaysia di Selat Malaka, TNI AU Kerahkan 2 Jet Tempur F-16

Patroli dengan AU Malaysia di Selat Malaka, TNI AU Kerahkan 2 Jet Tempur F-16

Nasional
Megawati: Lebih Baik 'Aku Cinta Padamu', Susah Banget Pakai 'Saranghae', Bukannya Menghina...

Megawati: Lebih Baik "Aku Cinta Padamu", Susah Banget Pakai "Saranghae", Bukannya Menghina...

Nasional
Tidak Akan Sampaikan Sikap Politik di Rakernas, Megawati: Enak Wae, Gue Mainin Dulu Dong

Tidak Akan Sampaikan Sikap Politik di Rakernas, Megawati: Enak Wae, Gue Mainin Dulu Dong

Nasional
Megawati: Saya Tahu Permainan Impor Pangan

Megawati: Saya Tahu Permainan Impor Pangan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com