JAKARTA, KOMPAS.com
— Tujuh komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban periode 2013-2018 telah terpilih melalui pemungutan suara di Komisi III DPR, Selasa (1/10/2013) malam. Setumpuk pekerjaan menunggu komisioner yang terpilih.

Komisioner baru Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang terpilih adalah Abdul Haris Semendawai (51 suara), Edwin Partogi Pasaribu (51 suara), Lili Pintauli (48 suara), Hasto Atmojo (47 suara), Askari Razak (45 suara), Lies Sulistiani (33 suara), dan Teguh Soedarsono (27 suara).

Empat dari tujuh komisioner baru merupakan komisioner LPSK petahana, yaitu Abdul Haris Semendawai, Lili Pintauli, Lies Sulistiani, dan Teguh Soedarsono. Adapun Edwin Partogi Pasaribu merupakan tokoh LSM dan advokat, sedangkan Hasto Atmojo dan Askari Razak sama-sama berasal dari kalangan akademisi.

”(Komisioner LPSK) yang terpilih cukup bagus. Diharapkan (komisioner) yang baru bisa menambah energi agar lebih kuat bagi penegakan hukum di Indonesia,” kata Ketua Komisi III DPR Gede Pasek Suardika.

Sebanyak 52 orang dari 54 anggota Komisi III DPR memberikan suara dalam pemilihan ini. Tujuh anggota LPSK terpilih merupakan hasil saringan. Sebelumnya, Presiden mengajukan 14 nama calon untuk diseleksi oleh DPR setelah 14 nama calon diseleksi oleh panitia seleksi LPSK 2013-2018.

Lima anggota panitia seleksi yang bekerja keras untuk memilah puluhan calon anggota LPSK pun berasal dari berbagai latar belakang. Mereka adalah Harkristuti Harkrisnowo sebagai ketua panitia seleksi dengan anggota Suharyono, Erry Riyana Hardjapamekas, Maria Hartiningsih, dan Sandra Moniaga.

Peneliti Elsam, Wahyudi Djafar, berharap dengan komposisi anggota terpilih, kinerja LPSK dapat melejit. ”Edwin dulunya aktif di Kontras, sedangkan Hasto Atmojo Suroyo pernah menjadi anggota Komnas HAM (2002-2007),” ujarnya.

Menurut Wahyudi, LPSK sejauh ini merupakan lembaga yang paling berperan untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau. ”Dan, kerja dari LSPK telah memperlihatkan hasil dengan pemberian bantuan medis dan psikologis bagi korban pelanggaran HAM berat termasuk korban ’65,” ujarnya.

Namun, kata Wahyudi, setumpuk pekerjaan masih menunggu di masa depan. Mulai dari korban pelanggaran HAM peninggalan masa lalu, penanganan justice collaborator pada kasus korupsi, kasus kekerasan militer, dan peningkatan kasus perdagangan manusia.

Pekan lalu, media juga ramai memberitakan permohonan perlindungan saksi kepada LPSK.

Pertama, permohonan perlindungan kepada LPSK dari Vanny Rossyane, yang merasa telah mengungkap bisnis narkoba di Lapas Cipinang. Vanny kini ditahan oleh polisi setelah mengonsumsi sabu.

Kedua, Badan Kehormatan DPR justru meminta LPSK untuk proaktif melindungi komisioner Komisi Yudisial Imam Anshori Saleh. Ketika seleksi calon hakim agung minggu lalu berlangsung, Imam menyatakan, ada dugaan suap dalam proses-proses seleksi selanjutnya.

”Kalau di bawah perlindungan LPSK, kami berharap Pak Imam mau menyebut nama oknum anggota DPR supaya segalanya jelas,” kata Ketua Badan Kehormatan DPR Trimedya Panjaitan, pekan lalu.

Sering kali diingatkan oleh berbagai kalangan, kerja LPSK memang tidak mudah. Sering kali batas antara saksi atau korban sangat ”tipis” dengan posisi sebagai terdakwa yang sudah kepepet menanti putusan sehingga mencari ”perlindungan” pada LPSK.