Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi ”Open House”

Kompas.com - 21/08/2013, 13:52 WIB

Oleh: INDRA TRANGGONO

Joko Widodo memilih blusukan untuk meminta maaf kepada publik daripada bikin open house di rumahnya. Pencitraan atau bukan, pilihan etik ini menarik.

Dengan memilih jalan ini, Gubernur DKI Jakarta itu telah memafhumkan kepada publik: pejabat pemerintahlah yang banyak bersalah, maka sepantasnya mohon maaf kepada masyarakat.

Open house menguat saat Orde Baru berkuasa. Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang feodal—mirip raja-raja Jawa—itu mampu melakukan penaklukan kolektif atas publik sehingga ia jadi figur sentral yang otoriter dan menakutkan. Kewibawaan (bisa jadi semu) pun terbangun. Celakanya, kini tradisi open house masih dijalankan, bahkan makin menguat sebagai jalan feodalisasi tokoh dan kekuasaan.

Feodalisme ternyata nikmat, termasuk bagi penyelenggara negara pasca-Orde Baru. Mereka ramai-ramai menjelma jadi raja- raja kecil untuk ”disembah” publik yang diposisikan sebagai kawula. Kepentingan lainnya adalah mendapat berbagai privilese.

Pola relasi yang terjadi adalah patron-klien. Patron dianggap berhak jadi sumber kehendak, misalnya memimpin dengan orientasi privat untuk soal-soal yang bersifat publik. Negara dan masyarakat seolah jadi miliknya, ditaruh di saku celana untuk digerogoti demi kepentingan sendiri. Kepemimpinan nasional (eksekutif, legislatif, yudikatif) pun jalan dengan kelemahan kontrol.

Semua urusan yang menyangkut hak-hak rakyat cenderung berlangsung dan diselesaikan di ruang gelap: dari soal transaksi kekuasaan, praktik-praktik kemakelaran, politik kartel, hingga pembobolan APBN. Jika Soeharto membangun kewibawaan dengan mengembangbiakkan ketakutan kolektif, para pejabat negara sekarang menggunakan kekayaan dan pencitraan (popularitas). Kewibawaan mereka sama-sama semu.

KOMPAS.com/Deytri Robekka Aritonang Salah satu meja makan di rumah dinas Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi saat menggelar open house Idul Fitri, Kamis (8/8/2013)

Sebagai penyakit, tradisi open house mereduksi relasi sosial yang berwatak egaliter menjadi feodalistik. Publik mengalami penaklukan secara psikologis sehingga pejabat negara terpahami sebagai pihak yang memonopoli kebenaran. Padahal dalam praktik-praktik pelayanan publik, penyelenggara negaralah yang selalu (sengaja) khilaf sehingga hak-hak publik tertelantarkan. Maka, sewajarnyalah penyelenggara negara yang meminta maaf kepada publik yang berposisi sebagai korban kebijakan dan praktik-praktik penyimpangan.

Namun, sudah jadi tabiat, pejabat tidak mau berbesar jiwa mengakui kesalahan dan kekurangan dalam pelayanan. Mereka pun membangun citra sebagai sumber kebenaran dengan memanfaatkan momentum Lebaran melalui tradisi open house.

Jalan profetik

Dalam konteks perkembangan kebudayaan, open house sama sekali tidak memberi makna bagi terbangunnya civil society yang antara lain dicirikan dengan kemandirian, kesetaraan, etika, dan etos. Ini semua bermuara pada penguatan bangsa yang tercerahkan secara profetik, yakni bangsa yang terbebaskan dari berbagai kungkungan (kemiskinan, ketakadilan, kebodohan) dan pendangkalan nilai serta meningginya eksistensi sebagai manusia.

Penyelenggara negara memiliki amanah suci untuk menempuh jalan profetik, bukan justru menekan publik melalui kebudayaan demi penaklukan kolektif, misalnya dengan open house. Agama dan tradisi-tradisi kebudayaan telah memberi banyak narasi yang inspiratif bagi para penyelenggara negara dalam konteks kepemimpinan bangsa. Agama dan tradisi budaya selalu meletakkan berbagai otoritas di bawah kepentingan publik, bukan sebaliknya. Untuk itu, dalam berbagai leksikon budaya dan agama dikenal konsep darma, khalifah, dan pelayan. Dalam konteks itu, pemimpin selalu berada di depan, dengan pasang badan demi kepentingan publik, tetapi selalu ikhlas untuk berada di belakang terkait dengan kepentingan material/nonmaterial.

Dalam tradisi budaya Jawa, misalnya, pemimpin disebut sebagai subyek yang bekerja lebih dulu, tetapi makan belakangan setelah semua orang yang dipimpin kenyang. Dengan otoritasnya, pemimpin menjalankan regulasi agar seluruh aset negara terdistribusi secara adil, bukan malah mengakali regulasi untuk me-nilep hak-hak publik.

Tradisi open house demi mengelap-lap ”kewibawaan” penyelenggara negara, pejabat, dan pelayan publik berpotensi untuk dieksploitasi demi memborong kebenaran. Karena itu, selayaknya penyakit sosial itu disembuhkan melalui cara-cara yang lebih bermartabat.

Saatnya para penyelenggara negara rendah hati untuk lebih memiliki rasa bersalah dan berdosa atas peran-peran sosialnya yang selama ini cenderung mengecewakan publik. Minta maaf kepada publik bukan hanya dengan mendatangi mereka, melainkan yang utama adalah menjalankan fungsi pelayanan yang distributif dan adil. Jangan menambahi kesusahan hidup rakyat dengan menyuruh mereka meminta maaf melalui open house.


INDRA TRANGGONO, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

Nasional
Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

BrandzView
Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Nasional
Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com