Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

153 PNS Bekas Terpidana

Kompas.com - 06/11/2012, 09:44 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Menciptakan pemerintah yang bersih ternyata menghadapi tantangan berat. Buktinya, sebagian dari ratusan pegawai negeri sipil yang divonis bersalah karena kasus korupsi malah masih aktif sebagai PNS, bahkan dipromosikan menduduki jabatan eselon II di provinsi/kabupaten.

Pejabat yang bekas terpidana korupsi rupanya tidak hanya bercokol di wilayah Kepulauan Riau. Bahkan, berdasarkan informasi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, jumlahnya sangat fantastis.

”Data sementara, PNS yang masuk penjara karena korupsi ada 153 orang dalam lima tahun terakhir. Kementerian Dalam Negeri mempunyai data nama dan daerahnya dan masih terus meng-update. Juga masih ditelusuri apakah mereka diberi jabatan atau tidak,” kata Gamawan, Senin (5/11).

Sebagian dari PNS yang menjadi terpidana korupsi dan telah menjalani hukuman itu justru mendapat promosi dan menduduki jabatan eselon II di tingkat provinsi atau kabupaten. Setidaknya ada 14 PNS bekas terpidana korupsi yang justru mendapat promosi jabatan strategis di daerah (Kompas, 5/11). Hanya dua orang yang mengundurkan diri dari jabatannya setelah mendapat tekanan dari publik.

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek menambahkan, PNS yang menjadi terpidana korupsi itu berada pada rentang eselon II hingga eselon IV di provinsi atau kabupaten/kota. Mereka, antara lain, menjabat staf pelaksana, bendahara proyek, hingga kepala dinas yang menjadi kuasa pengguna anggaran.

Menurut Gamawan, sejumlah daerah telah merespons surat edaran yang diterbitkannya tentang larangan promosi jabatan bagi PNS bekas terpidana korupsi. Mereka tengah mencari solusi, apakah memberhentikan atau meminta PNS itu mundur dari jabatannya.

Gamawan menegaskan, jika gubernur tidak mengindahkan larangan itu, ia akan membatalkan surat keputusan pengangkatan pejabat bersangkutan. Jika yang tak mengindahkan larangan itu bupati/wali kota, ia akan memerintahkan gubernur untuk membatalkan surat keputusan bupati/wali kota itu.

Terkait status PNS para bekas terpidana korupsi, menurut Gamawan, peraturan yang ada saat ini memungkinkan kepala daerah memberikan sanksi dalam tiga tingkatan berdasarkan kesalahannya, mulai dari sanksi teguran hingga diberhentikan dengan tidak hormat.

Bertahan

Meskipun Mendagri telah mengirimkan surat edaran, empat bekas terpidana korupsi di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, bertahan sebagai pejabat publik. Kepala Badan Pertimbangan Kepangkatan dan Jabatan Karimun Anwar Hasyim menolak menjelaskan soal pengangkatan empat bekas terpidana korupsi itu. Ia hanya menyatakan, Pemerintah Kabupaten Karimun sedang mempelajari aturan-aturan terkait pengangkatan itu. ”Kami harus bertindak hati-hati,” ujar Sekretaris Daerah Karimun itu, Senin, di Karimun.

Ia tidak bersedia menjelaskan soal pengangkatan Yan Indra, Raja Ubaidillah, Suhaimi, dan Nuzirwan sebagai pejabat. Keempat PNS itu juga tidak kehilangan status kepegawaian meski tidak masuk lebih dari setahun saat dipenjara karena korupsi.

Sikap Pemkab Karimun yang mempertahankan empat orang itu patut diduga telah melanggar edaran nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan Struktural. Edaran itu menegaskan bekas terpidana dilarang menjadi pejabat. Mereka yang sudah diangkat harus diberhentikan.

Menyikapi hal itu, Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masdar Farid Mas’udi mengatakan, bekas terpidana korupsi semestinya jangan dipilih lagi karena pernah mendapat amanat sebagai aparatur negara, tetapi justru mengkhianatinya. Mereka seharusnya jangan dipromosikan menduduki jabatan publik, bahkan jika perlu diberhentikan dari PNS. Kepala daerah yang mengangkat mereka menjadi pejabat jelas telah mencederai rasa keadilan dan moralitas publik.

Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Benny Susetyo menilai, tindakan kepala daerah yang mengangkat bekas terpidana korupsi sebagai pejabat merupakan pengkhianatan terhadap pemberantasan korupsi. Itu juga pembangkangan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pernah menegaskan berdiri paling depan dalam gerakan memerangi korupsi.

Sesungguhnya, publik bisa menggugat pemerintah karena dinilai melanggar hukum material. Secara hukum formal memang tak melanggar. ”Hukum yang kita kenal di masyarakat bukan hanya hukum formal berupa produk tertulis undang-undang, masih ada hukum tak tertulis yang bahkan sangat kita junjung keberadaannya,” kata Akhiar Salmi, ahli hukum pidana khususnya tindak pidana korupsi dari Universitas Indonesia.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

    Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

    Nasional
    Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

    Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

    Nasional
    Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

    Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

    Nasional
    Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

    Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

    Nasional
    Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Nasional
    Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

    Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

    Nasional
    KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

    KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

    Nasional
    Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

    Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

    Nasional
    Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

    Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

    Nasional
    56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

    56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

    Nasional
    Ingatkan Soal Kuota Haji Tambahan, Anggota DPR: Jangan Sampai Dipanggil KPK

    Ingatkan Soal Kuota Haji Tambahan, Anggota DPR: Jangan Sampai Dipanggil KPK

    Nasional
    Laporkan Dewas ke Polisi, Nurul Ghufron Sebut Sejumlah Pegawai KPK Sudah Dimintai Keterangan

    Laporkan Dewas ke Polisi, Nurul Ghufron Sebut Sejumlah Pegawai KPK Sudah Dimintai Keterangan

    Nasional
    Buka Forum Parlemen WWF Ke-10, Puan: Kelangkaan Air Perlebar Ketimpangan

    Buka Forum Parlemen WWF Ke-10, Puan: Kelangkaan Air Perlebar Ketimpangan

    Nasional
    Lemhannas Kaji Dampak Meninggalnya Presiden Iran dalam Kecelakaan Helikopter

    Lemhannas Kaji Dampak Meninggalnya Presiden Iran dalam Kecelakaan Helikopter

    Nasional
    Emil Dardak Sindir Batas Usia yang Halangi Anak Muda Maju saat Pemilu

    Emil Dardak Sindir Batas Usia yang Halangi Anak Muda Maju saat Pemilu

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com