Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Busyro: KPK Kejar Penerima Dana Sampai Ujung!

Kompas.com - 12/08/2012, 15:29 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi akan menelusuri aliran dana ke pihak-pihak lain dalam kasus dugaan korupsi simulator ujian surat izin mengemudi (SIM). Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas mengatakan, jika ada yang menerima dana, KPK akan mengejar hingga ke ujungnya.

"Jika ada yang dialiri, harus dikejar sampai ke ujung-ujungnya," katanya melalui pesan singkat, Minggu (12/8/2012).

Menurut Busyro, KPK bekerja profesional berdasarkan fakta dan bukti yang teruji. Jika ditemukan unsur pencucian uang dalam kasus ini, KPK tidak ragu menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

"TPPU haruslah diterapkan dengan spirit ideologis, yaitu ideologi penghukuman koruptor dalam kesadaran nilai-nilai pembebasan rakyat yang menjadi victim kolektif akibat buasnya laku kumuh dan bejat si koruptor," ungkap Busyro.

Selain menjerat pelaku tindak pidana korupsi, TPPU dapat menjerat pihak-pihak yang diduga menerima aliran uang hasil korupsi tersebut. Busyro juga mengatakan, maksimalisasi hukuman pelaku tindak pidana korupsi menjadi suatu keharusan. Hal itu penting sebagai pembelajaran akhlak agar para pejabat tidak seenaknya melakukan korupsi.

"Agar pejabat siapapun dia tidak mudah dan serba-mau geleman (terima sogokan) yang haram dan najis secara agama dan hukum positif dan konvensi UNCAC (United Nations Convention Against Corruption)," katanya.

KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus simulator SIM ini. Mereka adalah mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri yang sekarang menjadi Gubernur Akademi Kepolisian nonaktif, Irjen (Pol) Djoko Susilo, Wakil Kepala Korlantas Polri, Brigjen Didik Purnomo, serta dua pihak swasta, yakni Sukoco S Bambang, dan Budi Susanto.

Keempatnya dijerat dengan pasal penyalahgunaan wewenang. Akibat perbuatan mereka, negara diduga mengalami kerugian Rp 90 miliar hingga Rp 100 miliar. Terkait kasus dugaan simulator SIM, PPATK menemukan transaksi yang diduga tidak wajar dalam sejumlah rekening milik salah satu tersangka yang terlibat dalam proyek simulator itu. Nilanya, lebih dari Rp 10 miliar.

Salah satu data transaksi, antara lain, pada September 2004, hampir setiap hari ada setoran di atas Rp 100 juta. Laporan soal transaksi ini, sudah disampaikan PPATK ke KPK. Temuan transaksi tidak wajar ini memungkinkan KPK menyelidiki pejabat lain yang berhubungan dengan Korlantas.

"KPK sudah mencurigai sejak adanya laporan dari kontraktor pengadaan alat simulasi yang mencurigai ada permainan dalam proyek itu," kata Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan (Kompas, 12 Agustus 2012).

Menurutnya, temuan PPATK tersebut baru bukti awal yang harus ditindaklanjuti KPK. Transaksi tidak wajar itu bisa diperluas penelusurannya hingga pada relasi-relasi kekuasaan di Polri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

    Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

    Nasional
    PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

    PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

    Nasional
    Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

    Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

    Nasional
    PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

    PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

    Nasional
    ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

    ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

    Nasional
    Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

    Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

    Nasional
    PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

    PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

    Nasional
    Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

    Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

    Nasional
    Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

    Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

    Nasional
    Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

    Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

    Nasional
    Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

    Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

    Nasional
    Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

    Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

    Nasional
    Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

    Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

    Nasional
    Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

    Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

    Nasional
    KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

    KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com