PADA Pemilu 2024, catatan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mengungkapkan adanya 403 laporan mengenai pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), dengan 183 ASN atau 45,4 persen terbukti melanggar netralitas.
Meskipun jumlah ini menurun jika dibandingkan dengan Pilkada serentak 2020 yang mencatat 2.034 kasus dengan 1.597 ASN atau 78,5 persen terbukti bersalah, pelanggaran netralitas ASN tetap menjadi masalah signifikan yang belum terselesaikan sepenuhnya.
Di tengah upaya menjaga netralitas ASN, muncul isu diskriminasi dalam pencalonan kepala daerah.
ASN yang ingin mencalonkan diri diwajibkan mengundurkan diri dari jabatannya, sementara presiden dan menteri hanya perlu mengambil cuti saat mencalonkan diri.
Contoh diskriminasi ini terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat, di mana wali kota melalui surat edaran menyatakan bahwa ASN dilarang mendekati atau mendekatkan diri ke partai politik.
Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa ASN harus mengundurkan diri padahal mereka tetap berada dalam konteks pemerintahan yang sama?
Pembatasan ini tampak tidak adil, terutama mengingat ASN seharusnya dapat berkontribusi dalam pemerintahan tanpa kehilangan posisinya.
Kecuali jika mereka mencalonkan diri menjadi anggota legislatif yang memerlukan afiliasi dengan partai politik, ASN yang diperbantukan dalam jabatan BUMN pun semestinya bisa tetap aktif mewakili negara, dengan sistem penggajian dan status jabatan yang mendukung keberlangsungan karier mereka.
Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 41/PUU-XII/2014, untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil, pengunduran diri bagi ASN dilakukan bukan pada saat mendaftar, melainkan pada saat yang bersangkutan telah ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilihan.
Dari perspektif hak konstitusional, pembatasan hak politik ASN tidak sejalan dengan semangat negara hukum yang menekankan kesamaan hak di hadapan hukum, seperti diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 28D ayat (3) juga menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, yang tidak mungkin dijalankan oleh ASN jika hak politik mereka dibatasi.
Selain itu, pelarangan ASN untuk mendukung salah satu kandidat dalam pemilihan umum bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara.
Netralitas ASN seringkali tidak berjalan sebagaimana mestinya karena kepala daerah petahana kerap memberikan tekanan agar ASN menguntungkan dirinya.
Tekanan ini bisa berbentuk perintah langsung, ancaman mutasi, atau bahkan pemberhentian, yang membuat ASN berada dalam posisi sulit.
Ini menunjukkan bahwa masalah sebenarnya terletak pada kontrol kepala daerah terhadap ASN, bukan pada partisipasi politik ASN itu sendiri.