TEPAT pada Senin, 22 April 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan Putusan Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 menolak permohonan pemohon (Pihak 01 dan 03) secara seluruhnya dalam sengketa hasil Pilpres 2024.
Secara empiris, kondisi pemilu 2024 tidak dapat dikatakan ideal secara keseluruhan. Hal tersebut disebabkan maraknya fenomena yang mengarah pada keberpihakan kepala negara beserta jajarannya terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga menyebabkan adanya konflik kepentingan.
Ketidakidealan pemilu 2024 dapat ditunjukkan pada Putusan MK Nomor 90/PUU/XXI/2023, cawe-cawe presiden beserta jajarannya, pengerahan alat negara dan aparat negara serta pembagian bantuan sosial (bansos) untuk memenangkan salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden tertentu.
Melihat situasi dan kondisi pemilu 2024 yang dinilai tidak ideal, maka pihak 01 dan 03 pun mengajukan permohonan PHPU di MK.
Apabila ditinjau dari segi hukum administrasi negara, maka tindakan keberatan yang diajukan oleh pihak 01 dan 03 dibenarkan dalam teori dasar negara hukum.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari J.B.J.M ten Berge bahwa salah satu tindak lanjut dari prinsip-prinsip demokrasi adalah rakyat dimungkinkan untuk mengajukan keberatan.
Lebih lanjut, Willem Konijnenbelt juga mengemukakan bahwa dalam prinsip-prinsip demokrasi, siapapun yang memiliki kepentingan yang (dilanggar) oleh tindakan penguasa, (harus) diberi kesempatan untuk membela kepentingannya.
Pada Putusan MK perihal PHPU Pilpres kali ini, terdapat pendapat hakim yang berbeda dari majelis hakim lainnya (dissenting opinion).
Pertama, Hakim Saldi Isra menjelaskan perihal dissenting opinion-nya bahwa terdapat ketidaknetralan sebagian penjabat kepala daerah sehingga menyebabkan pemilu 2024 tidak terlaksana secara jujur dan adil.
Lebih lanjut, Saldi Isra juga menjelaskan bahwa telah terjadi politisasi bansos dan mobilisasi aparat negara, sehingga menurutnya perlu dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.
Tidak hanya Hakim Saldi Isra, Hakim Enny Nurbaningsih juga memiliki dissenting opinion yang menjelaskan bahwa pemberian bansos menjelang pemilu oleh presiden memengaruhi kondisi kesetaraan peserta pemilu pemilu 2024.
Lebih lanjut, Hakim Enny Nurbaningsih mengungkapkan bahwa telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang dilakukan dengan pemberian bansos di beberapa daerah.
Hakim Enny Nurbaningsih menyatakan hal yang sama dengan Hakim Saldi Isra untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.
Terakhir, terdapat dissenting opinion Hakim Arief Hidayat yang menjelaskan bahwa sepanjang sejarah pemilu pilpres rentang tahun 2004 hingga tahun 2019, tidak pernah ditemukan adanya intervensi dan tindakan ketidaknetralan yang dilakukan oleh presiden beserta jajarannya untuk memihak pasangan calon presiden-wakil presiden tertentu.
Menurut Hakim Arief Hidayat, tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo beserta struktur politik kementerian dan lembaga dari tingkat pusat hingga daerah dinilai telah menciderai sistem keadilan pemilu (electotal justice) yang termuat dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.