SENIN, 22 April 2024, akan menjadi hari bersejarah bagi negeri ini. Delapan hakim konstitusi akan menjadi sorotan.
Publik dan Republik menantikan “Idu Geni” delapan hakim konstitusi untuk mengakhiri sengketa pemilihan umum, khusus pemilu presiden 14 Februari 2024.
Sebagaimana tulisan saya di Kompas, 15 April 2024, “MK yang memulai, MK yang Mengakhiri”, putusan MK sangat ditunggu publik.
Kontroversi proses Pemilu Presiden 2024 memang diawali dengan putusan MK yang kontroversial. Dan, kini bola kembali dikembalikan pada MK untuk menebus putusan MK sebelumnya yang memang kontroversial. Inilah peluang besar bagi Mahkamah Konstitusi.
Sengketa Pemilu Presiden 2024 memang menarik. Salah satu yang membedakan dengan sidang sengketa pemilu sebelumnya adalah membanjirnya “Amicus Curiae” atau (sahabat pengadilan) yang diajukan kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi.
Menurut Juru Bicara MK, Fajar Laksono, sudah ada 33 Amicus Curiae yang diterima MK. (Kompas, 19 April 2024). Dan kembali, menurut Fajar, Amicus Curiae yang akan dipertimbangkan MK hanyalah Amicus Curiae yang diterima MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB.
Sejumlah akademisi, seniman, aktivis, ketua umum partai politik mengajukan Amicus Curiae kepada Mahkamah Konstitusi.
Megawati Soekarnoputri dalam kapasitasnya sebagai warga negara Indonesia mengajukan Amicus Curiae. Sebelumnya, Amicus Curiae Megawati Soekarnoputri dimuat di Harian Kompas.
Keterlibatan seniman mengajukan Amicus Curiae, menurut Butet Kartaradjasa dalam esainya di Kompas, 18 April 2024, telah membelah komunitas seniman. Komunitas “seniman baik dan benar” dan “gerombolan seniman disorientasi”.
Butet menulis, ”keterlibatan seniman, rohaniawan, akademisi” “membelot” dari profesinya lebih karena keyakinan mereka kepada nilai-nilai. Nilai dasar kehidupan, termasuk etika dan kepantasan, tidak boleh diganggu.
Langkah Megawati yang mengajukan diri menjadi “Amicus Curiae” juga mengundang kritik karena Megawati adalah termasuk pihak yang berselisih.
Amicus Curiae adalah fenomena baru dalam sistem hukum Indonesia. Dalam perkara pidana, penggunaan Amicus Curiae diadopsi dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus Ferdy Sambo.
Sedang dalam perkara di MK, Amicus Curiae boleh jadi, ini adalah sejarah baru. Akankah hakim MK mengadopsi model Amicus Curiae? Selayaknya, MK memberikan pendapat konstitusional.
Banjirnya Amicus Curiae bisa saja dipandang sebagai bentuk tekanan politik yang mengintervensi kekuasaan kemandirian kehakiman.
Namun, mengacu pada pertimbangan majelis hakim dalam kasus Sambo, Ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso, menyebut Amicus Curiae bukanlah intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.