ISU penting yang sering tidak mendapat perhatian serius terkait penanganan Milisi Teroris Asing (MTA) atau Foreign Terrorist Fighters (FTF) adalah keterlibatan anak-anak dalam kelompok dan aksi kekerasan terorisme.
Anak-anak yang terlibat dalam kekerasan oleh kelompok teroris internasional –dalam hal ini ISIS—menderita bukan saja secara psikis, tetapi juga fisik.
Penelitian Brooks, & Jacobson-Lang, B. (2022) yang terbit dengan judul “Children of ISIS: Considerations Regarding Trauma, Treatment and Risk" misalnya, menyebut anak-anak yang berada di bawah kekuasaan ISIS dipaksa untuk ‘akrab’ dengan senjata, detonator, dan berbagai tindak kekerasan.
Keterlibatan ini tentu merusak mental dan cara pandang anak-anak terhadap diri mereka dan masa depan yang akan mereka jalani nantinya.
Brooks dan Jacobson menyebut anak-anak ini sangat rawan mengalami trauma, kecemasan luar biasa, dan berbagai masalah pelik lainnya.
Ketika tidak sedang dilibatkan dalam pelatihan atau aksi kekerasan, anak-anak ini dicekoki ajaran permusuhan dan kedengkian yang dibalut sentimen agama.
Mereka diyakinkan bahwa agama memerintahkan mereka untuk tidak berbelas kasihan kepada orang-orang yang berbeda keyakinan.
Pelibatan anak-anak dalam konflik kekerasan sesungguhnya bukanlah hal baru. Sejak abad ke-18, anak-anak sudah diseret masuk ke dalam konflik yang berkejaran dengan maut.
Saat itu, anak-anak memang belum dilibatkan secara langsung di medan perang; mereka lebih banyak berperan sebagai pemberi semangat. Namun sejak saat itulah, anak-anak mulai dipaksa untuk melihat dan belajar langsung cara-cara melakukan kekerasan.
Steven R Ratner dan Jason S Abrams (2001) dalam Accountability for Human Rights Atrocities in International Law mencatat salah satu modus operandi Pol Pot semasa killing field di Kamboja yang berlangsung selama 17 April 1975 hingga 7 Januari 1979, melibatkan banyak anak usia 12-14 tahun.
Mereka terlibat dalam serangkaian aksi brutal seperti merusak, menganiaya, bahkan ikut melakukan pembunuhan massal yang mengakibatkan tewasnya dua juta jiwa. Sejak masa ini, istilah tentara anak atau child soldiers mulai umum digunakan.
Meski terlibat dalam sejumlah kelompok dan aksi kekerasan, anak-anak tidak sepatutnya dikategorikan sebagai pelaku.
Tidak sedikit hasil studi yang menunjukkan bahwa keterlibatan anak-anak dalam berbagai konflik kekerasan, termasuk terorisme, dilatari oleh paksaan atau tipuan.
Banyak anak yang diculik dan dipaksa untuk terlibat, sebagian lagi ditipu dengan ajaran-ajaran keliru yang berujung pembenaran terhadap aksi-aksi kekerasan.
Organisasi Save The Children, misalnya, secara keras menyatakan bahwa child soldiers diisi oleh “anak-anak yang diculik dan digunakan sebagai kombatan, dipaksa bertindak sebagai perisai manusia atau melakukan eksekusi, ditempatkan sebagai pengebom bunuh diri, atau digunakan untuk membuat atau mengangkut bahan peledak.”