JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera kembali menetapkan Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej sebagai tersangka.
Eddy Hiariej merupakan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) yang diduga menerima suap dan gratifikasi. Tetapi, status tersangkanya dicabut usai gugatan praperadilannya dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Tidak cuma Eddy, PN Jaksel juga mencabut status tersangka terduga penyuap Eddy, Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan).
“Harusnya tidak ada alasan bagi KPK untuk menunda penetapan Eddy sebagai tersangka,” kata peneliti ICW Diky Anandya dalam keterangannya, Selasa (27/2/2024).
Baca juga: 2 Kali Kalah di Praperadilan, Ketua KPK Akan Panggil Kepala Biro Hukum dan Minta Penjelasan
Menurut Diky, KPK bisa segera kembali menetapkan Eddy Hiariej sebagai tersangka berdasarkan pada Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang sudah ada.
Terlebih, dalam putusan praperadilannya, Hakim PN Jaksel tidak menganulir keabsahan surat perintah penyidikan (Sprindik) yang dikeluarkan KPK.
ICW menilai KPK tidak serius dalam menangani kasus Eddy Hiariej. Sebab, sejak putusan praperadilan yang mencabut status tersangka Eddy Hiariej pada 30 Januari 2024, sampai saat ini KPK belum memberikan keterangan resmi menyangkut tindaklanjut hukumnya.
“Jika dicermati lebih lanjut, kami menilai KPK bisa segera melanjutkan proses penyidikan,” ujar Diky.
Diky lantas mengingatkan, KPK sebelumnya juga pernah menetapkan ulang tersangka setelah kalah di praperadilan.
Dalam kasus megakorupsi e-KTP, Ketua DPR RI saat itu Setya Novanto yang ditetapkan sebagai tersangka menang di praperadilan pada 29 September 2017.
“Tak lama berselang, tepatnya 31 Oktober 2017, KPK kembali menetapkan Setya sebagai tersangka,” kata Diky.
Baca juga: Saat KPK 2 Kali Kalah Praperadilan dan Disebut Berpotensi Salah Gunakan Wewenang...
Diky juga menegaskan bahwa putusan praperadilan yang mencabut status tersangka tidak menggugurkan substansi tindak pidana seseorang.
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016.
Dengan demikian, kewenangan penyidik untuk menetapkan kembali seseorang sebagai tersangka masih terbuka.
Di sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XV/2017 juga memungkinkan penegak hukum menggunakan barang bukti yang sebelumnya digunakan untuk menetapkan tersangka.