JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai bahwa beban kerja badan ad hoc penyelenggara/petugas pemilu, mulai dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), pengawas TPS, PPS di tingkat kelurahan dan PPK di tingkat kecamatan masih terlalu berat.
Situasi ini ditengarai sebagai sebab sedikitnya 84 petugas pemilu tutup usia sejak hari pemungutan suara, berdasarkan data KPU dan Bawaslu hingga 18 Februari 2024.
Berdasarkan pendalaman BBC Indonesia, kematian petugas pemilu bahkan ditaksir sudah tembus 100 orang.
"Masih banyak kendala yang didominasi masalah teknis yang kemudian memicu petugas meninggal atau sakit, selain memang penghitungan secara manual atas lima surat suara sendiri sudah merupakan beban kerja yang berat dan butuh waktu lama untuk diselesaikan," ungkap Titi kepada Kompas.com, Selasa (20/2/2024).
Baca juga: Alasan PPS di Tangsel Buka Kotak Suara Sebelum Rekapitulasi, Hendak Foto C1 untuk Sirekap
Ia memberi contoh, para petugas KPPS menghadapi problem teknis yang menambah beban kerja mereka dan memicu stres.
Beberapa kejadian seperti surat suara yang datang terlambat, kurang, atau tertukar dengan dapil lain membuat petugas harus menunggu dan menghabiskan waktu lebih lama. Ini menambah tekanan kerja tersendiri untuk mereka.
Padahal, pemungutan suara hanya berlangsung 6 jam, lalu dilanjut dengan penghitungan suara yang harus rampung maksimum dalam 23 jam.
"Selain itu, ada mesin pengganda yang tidak berfungsi membuat para petugas harus menyalin manual salinan (formulir) C.Hasil yang harus diberikan kepada setiap saksi, pengawas TPS, dan PPK melalui PPS yang hadir pada hari yang sama," ucap Titi.
"Penyalinan itu makan waktu lama bahkan hingga subuh atau pagi hari berikutnya. Selain itu, mesin pengganda mengalami masalah dan kendala dalam pengoperasiannya dan membuat penyalinan menjadi terlambat dan menghambat penyelesaiannya," lanjut dia.
Baca juga: Bawaslu Periksa PPK dan PPS di Serpong Utara yang Buka Kotak Suara Sebelum Rekapitulasi
Beberapa peristiwa juga dianggap menjadi pemicu, seperti tidak sinkronnya data antara angka pengguna hak pilih dengan total suara sah ditambah suara tidak sah.
Belum lagi kejadian-kejadian seperti petugas KPPS mesti menghitung ulang berkali-kali jumlah surat suara secara manual, karena jumlahnya berbeda dengan yang diterima.
Titi menyebut, petugas KPPS masih mengalami kerumitan teknis yang tinggi di lapangan, dalam rentang waktu kerja yang sangat singkat.
Sementara itu, beban kerja tinggi dalam waktu kerja yang padat juga diderita oleh PPS (Panitia Pemungutan Suara) di kelurahan dan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan).
"Mereka kerja nonstop sejak lama, termasuk mengadakan bimbingan teknis (bimtek) terhadap KPPS di kecamatan mereka. Petugas KPPS semua anggotanya dilatih, itu berat," ujar Titi.
Baca juga: Bawaslu Dapati Ada PPS Buka Kotak Suara Sebelum Rekapitulasi di Serpong Utara
Tak hanya itu, PPK dan PPS juga harus mengawal dan memastikan distribusi logistik pemilu ke TPS berjalan dengan tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat sasaran. Mereka pun harus mengikuti ragam pelatihan serta koordinasi jelang hari pemungutan suara.