JAKARTA, KOMPAS.com – Bersama Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) merupakan lembaga tinggi negara yang lahir dari semangat Reformasi 1998.
DPD hadir dalam struktur ketatanegaraan Indonesia berdasarkan amandemen ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni pada Pasal 22C dan 22D.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPD RI Rahman Hadi menjelaskan, DPD dibentuk untuk mewakili aspirasi daerah yang dapat memengaruhi pembentukan kebijakan atau pengambilan keputusan politik di tingkat pusat.
Kehadiran DPD, lanjutnya, juga menjadi penyeimbang dalam sistem parlemen bikameral atau dua kamar di Tanah Air. Sebelum Reformasi, parlemen Indonesia hanya terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lalu, DPD dihadirkan sebagai kamar kedua untuk menyuarakan aspirasi daerah dan sekaligus menjadi check and balances dalam praktik keparlemenan di Indonesia.
Baca juga: Anies Hadiri Sarasehan DPD RI, Cak Imin Kampanye di Banten Hari Ini
Rahman melanjutkan, sebagai negara dengan luas wilayah yang besar, sistem parlemen bikameral atau dua kamar merupakan keniscayaan. Kehadiran DPD memberikan keseimbangan dalam sistem parlemen di Indonesia.
Rahman pun menjelaskan perihal keseimbangan tersebut. Anggota DPR, terangnya, berasal dari anggota partai politik dan berbasis daerah pemilihan (dapil). Alokasi kursi DPR dari tiap provinsi berbeda-beda, bergantung jumlah penduduk.
Hal tersebut berbeda dengan DPD. Tanpa memandang luas wilayah dan jumlah penduduk, anggota DPD tiap provinsi sama, yakni 4 orang.
“Mau jumlah penduduknya besar atau kecil, anggota DPD tiap provinsi yang memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah dalam fungsi representatif berjumlah 4. Inilah keseimbangannya,” terang Rahman saat ditemui Kompas.com di Gedung DPD RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Sebagai lembaga legislatif, Rahman menjelaskan, DPD memiliki fungsi yang sama dengan DPR, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi lainnya adalah sebagai representatif atau perwakilan yang pelaksanaannya menyerap aspirasi masyarakat daerah.
Baca juga: DPD RI Ajak Muhammadiyah Bangun Kesadaran Kolektif untuk Wujudkan Azas dan Sistem Pancasila
Kewenangan dan fungsi tersebut diatur dalam Pasal 22D UUD 1945 dan turunannya, yakni UU No 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, DPD, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau biasa disebut MD3.
Meski begitu, imbuh Rahman, dalam melaksanakan fungsi legislasi, DPD belum sepenuhnya seperti lembaga pembentuk undang-undang (UU). Pasalnya, berdasarkan UUD, lembaga pembentuk UU adalah DPR dan pemerintah.
Kewenangan DPD dalam pembuatan UU, sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, hanya sebatas yang berkaitan dengan otonomi daerah (otda), hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan sumber ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
“Itu pun masih diawali dengan kata ‘dapat mengajukan’. Kata ‘dapat’ bisa dimaknai boleh iya, boleh tidak. Artinya tidak wajib,” jelas Rahman.
Kemudian, dalam pembahasan UU tersebut, sebagaimana Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, terdapat kata “ikut” dalam kewenangan DPD. “Kata ‘ikut’ ini berarti di belakang maknanya,” terangnya lagi.
Baca juga: Raker Bersama DPD RI, Wamendagri Dukung Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024