SEKITAR dua pekan sebelum pemilihan umum 2024 di Indonesia, ada fokus kritis terhadap lanskap politik, terutama terkait netralitas pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Di tengah dugaan bahwa Jokowi mendukung putranya, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, pengawasan semakin meningkat.
Dalam suasana yang penuh tekanan ini, kemunculan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) dan peluncuran aplikasi JagaSuara2024 patut dicatat. Gerakan-gerakan ini, yang menggemakan sentimen publik.
GNB, kekuatan moral yang dipimpin oleh tokoh-tokoh terkemuka seperti Ny Sinta Nuriyah, Alissa Wahid, Lukman Hakim Saefuddin, Gomar Gultom, Karlina Supelli, Erry Riyana Hardjapamekas, Omi Kamariah Madjid, dan Komaruddin Hidayat, secara aktif menyuarakan keprihatinan terhadap situasi politik dan mengadvokasi pemilu yang jujur dan adil.
Mereka telah melakukan pendekatan dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dan berencana bertemu Presiden Joko Widodo.
Kemunculan mereka menggarisbawahi diamnya organisasi sosial dan universitas lain dalam wacana politik, sementara partai-partai politik disibukkan dengan kompetisi mereka.
Secara paralel, aplikasi JagaSuara2024, yang dikembangkan oleh organisasi masyarakat sipil seperti Net Grit, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), merupakan sarana strategis untuk memantau penghitungan suara pada 14 Februari 2024.
Ini adalah respons langsung untuk memastikan rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU tetap transparan dan tidak bias.
Inisiatif GNB dan JagaSuara2024 menunjukkan bahwa masyarakat yang waspada dan proaktif dalam menjaga integritas proses demokrasi.
Prinsip netralitas pemerintah dalam proses pemilu, yang merupakan landasan integritas demokrasi, tampaknya berada di bawah ancaman signifikan dalam lingkungan politik Indonesia saat ini.
Keterlibatan Presiden Jokowi dalam dinamika pemilu, khususnya dukungannya terhadap pencalonan putranya, telah memicu serangkaian masalah etika dan demokrasi.
Hal ini mencakup dugaan politisasi program bantuan sosial (bansos) dan manipulasi aparatur negara untuk kepentingan politik.
Tindakan-tindakan seperti itu dapat mewakili pelanggaran berat terhadap kepercayaan dan manipulasi sistem yang dirancang untuk kesejahteraan masyarakat.
Politisasi bansos, atau program bantuan sosial oleh Jokowi dan partai-partai koalisi Prabowo-Gibran sangat memprihatinkan.
Program-program ini, yang awalnya dirancang untuk membantu segmen masyarakat yang paling rentan, dikhawatirkan akan disalahgunakan untuk menggalang dukungan politik.