SEKITAR satu bulan lalu, publik dihebobkan adanya penjualan narkoba dengan modus baru, keripik singkong narkoba. Para sindikat memformula dagangannya dengan mencampur narkoba dengan makanan dan menjualnya dalam bentuk keripik pisang.
Mereka menjualnya secara daring, menggunakan fasilitas media sosial. Namun, peredaran tersebut mudah saja tercium karena kejanggalan harganya.
Ratusan gram keripik singkong dihargai lebih dari satu juta adalah angka yang tidak realistis. Sekali petugas mengendus keanehan tersebut, maka modus tersebut akan segera terbongkar.
Narkoba jenis sabu yang disamarkan dengan singkong adalah barang mahal dan tidak logis jika disamarkan dengan harga keripik singkong.
Perilaku menjaja narkoba dalam bentuk makanan sebenarnya bukan barang baru. Pada 2018, di Kota Denpasar, Bali, petugas kepolisian berhasil mencium gelagat penjualan kukis yang mengandung narkoba varian ADB-Fubiata. Salah satu varian ganja sintetis ini memiliki efek lebih keras dibandingkan ganja alami.
Sementara pada 2021, ketika pandemik masih berlangsung, di Banyumas, Jawa Tengah juga ditemukan ganja yang dijaja dalam bentuk brownies dan pukis.
Petugas dari BNNP Jateng mengidentifikasi keterlibatan narapidana Lapas Kelas 1 Kedungpane terlibat dalam bisnis tersebut.
Keripik, kukis, brownies, atau pukis hanyalah alat penyamaran bagi pengedar untuk mengedarkan narkoba. Kreativitas tersebut tidak akan berhenti dan mereka akan berganti-ganti sesuai dengan perkiraan modus yang mereka anggap aman.
Ada dua situasi yang menarik dari kasus-kasus tersebut. Pertama, kemampuan deteksi oleh petugas yang mumpuni.
Kemampuan petugas dalam mendeteksi modus-modus tersebut patut diapresiasi. Namun, penjual narkoba akan mencari jalannya dan tidak akan berhenti dengan satu cara. Suatu hari, mungkin terjadi lagi penjualan narkoba dengan penyamaran baru.
Kedua, era media sosial mengubah banyak hal, termasuk ragam cara penjualan narkoba. Media sosial juga menjadi cara bagi penjual narkoba menciptakan pasar dan menemukan pelanggan baru.
Media sosial saat ini memang menjadi media yang dianggap aman bagi pelaku untuk menjaja narkoba. Mereka juga kerap berganti akun dan dengan mudah membuat akun afiliasi yang baru.
Saya pernah mengikuti beberapa akun penjual narkoba sinte. Informasi akun-akun penjual tersebut saya dapatkan dari para klien rehabilitasi yang melakukan asesmen dan perawatan di klinik rehabilitasi BNNP DKI Jakarta. Mereka ditangkap polisi di wilayah hukum Jakarta.
Tidak selang beberapa lama, saya di DM oleh beberapa akun tersebut. Mereka secara lugas menawarkan produknya dengan merk dagang beragam. Perbedaan terletak pada kandungan jenis zat psikoaktifnya.
Secara sederhana, tiap-tiap produk terletak pada keras dan tidaknya atau langsung dan tidaknya efek yang ditimbulkan setelah menghisap zat-zat rekayasa kimia tersebut.