SATU pelajaran sangat berharga dari rezim Orde Baru (1966-1998) adalah soal penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu).
Sudah menjadi catatan kelam sejarah politik Indonesia bahwa Orde Baru menyelenggarakan “pemilu pura-pura”. Melaksanakan pemilu, tapi pemenangnya sudah ditentukan. Pemilu didesain agar pemenang sesuai dengan yang sudah ditentukan.
Karena itu, enam kali pemilu Orde Baru dipenuhi kecurangan, akal-akalan. Azas “luberjurdil” (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) hanyalah bahasa pidato para pejabat. Yang terjadi di lapangan jauh dari apa yang dipidatokan.
Kecurangan dan akal-akalan itu dimulai dari pembuatan partai politik (parpol) baru sebagai peserta pemilu, yakni Golongan Karya (Golkar). Golkar didesain sebagai instrumen politik pemilu.
Meski selalu ikut pemilu sejak pemilu pertama pada 1971 dan menjalankan fungsi kepartaian, tapi Golkar tak pernah menyebut/disebut partai politik (parpol). Golkar menyebut/disebut Organisasi Peserta Pemilu (OPP), bukan parpol peserta pemilu. Aneh, tapi nyata.
Golkar juga didesain sebagai kekuatan politik yang berelasi segitiga dengan Birokrasi dan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang merupakan gabungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian).
Di pemerintahan Orde Baru lalu muncul Jalur G (Golkar), Jalur B (Birokrasi) dan Jalur A (ABRI).
Maka, semua Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan menjadi anggota Golkar. Saat pemilu, karena anggota Golkar, dengan sendirinya juga wajib memilih Golkar. Bukan dirinya saja, setiap PNS juga “ditugasi” memenangkan Golkar.
Tak aneh, sejak pemilu pertama 1971 hingga pemilu terakhir Orde Baru pada 1997, Golkar selalu menang telak.
Selanjutnya, dilakukan penyederhanaan (fusi) parpol peserta pemilu. Fusi dilakukan pada 1973, dua tahun setelah pemilu pertama 1971 yang masih diikuti sejumlah parpol.
Sejumlah parpol dipaksa lebur menjadi tinggal dua parpol. Yang berbasis Islam dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Parpol nasionalis dan berbasis agama non-Islam dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dan, aneh tapi nyata, parpol dibina oleh Departemen Dalam Negeri (kini Kementerian Dalam Negeri) secara berjenjang. Setiap pengurus parpol tentu saja wajib direstui oleh pembina.
Di tingkat pusat, pembina itu menteri dalam negeri. Di tingkat provinsi dijalankan oleh kepala Direktorat Sosial Politik (Kaditsospol). Di kabupten/kota oleh kepala Kantor Sosial Politik (Kakansospol).
Pemilu kedua Orde Baru (1977) sudah tinggal tiga peserta, yakni PPP, Golkar, dan PDI. Golkar selalu di tengah dengan nomor urut 2, yang didukung penuh birokrasi, TNI dan polisi.
Lalu, penyelenggara pemilu juga diakali. Penyelenggara pemilu bernama Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Kedudukannya bukan independen, melainkan bagian dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri).
Penyelenggara tak mungkin netral (independen). Petugasnya saja hingga tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagian adalah PNS yang anggota Golkar. Jalur A dan Jalur B dikerahkan secara sistematis, sehingga Golkar selalu menang telak.
Jadi, memang “pemilu pura-pura”. Sebagian besar rakyat memang berbondong-bondong ke TPS untuk memilih, tapi sejatinya tak ada pilihan.
Memilih PPP atau PDI sejatinya sama saja. Orang-orangnya telah diseleksi secara sistematis oleh penguasa melalui pembina parpol yang merupakan bagian Depdagri.
Karena dimobilisasi secara sistematis, angka partisipasi pemilih sangat tinggi. Rata-rata sekitar 93,6 persen setiap pemilu selama enam kali pemilu. Pemilih yang tak menggunakan hak pilih paling tinggi 6,4 persen. Sebagian karena alasan teknis, bukan politis.