Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Siklus Sejarah: Memastikan Tak Ada Prahara Pemilu 2024

Kompas.com - 25/11/2023, 11:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SATU pelajaran sangat berharga dari rezim Orde Baru (1966-1998) adalah soal penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu).

Sudah menjadi catatan kelam sejarah politik Indonesia bahwa Orde Baru menyelenggarakan “pemilu pura-pura”. Melaksanakan pemilu, tapi pemenangnya sudah ditentukan. Pemilu didesain agar pemenang sesuai dengan yang sudah ditentukan.

Karena itu, enam kali pemilu Orde Baru dipenuhi kecurangan, akal-akalan. Azas “luberjurdil” (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) hanyalah bahasa pidato para pejabat. Yang terjadi di lapangan jauh dari apa yang dipidatokan.

Kecurangan dan akal-akalan itu dimulai dari pembuatan partai politik (parpol) baru sebagai peserta pemilu, yakni Golongan Karya (Golkar). Golkar didesain sebagai instrumen politik pemilu.

Meski selalu ikut pemilu sejak pemilu pertama pada 1971 dan menjalankan fungsi kepartaian, tapi Golkar tak pernah menyebut/disebut partai politik (parpol). Golkar menyebut/disebut Organisasi Peserta Pemilu (OPP), bukan parpol peserta pemilu. Aneh, tapi nyata.

Golkar juga didesain sebagai kekuatan politik yang berelasi segitiga dengan Birokrasi dan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang merupakan gabungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian).

Di pemerintahan Orde Baru lalu muncul Jalur G (Golkar), Jalur B (Birokrasi) dan Jalur A (ABRI).

Maka, semua Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan menjadi anggota Golkar. Saat pemilu, karena anggota Golkar, dengan sendirinya juga wajib memilih Golkar. Bukan dirinya saja, setiap PNS juga “ditugasi” memenangkan Golkar.

Tak aneh, sejak pemilu pertama 1971 hingga pemilu terakhir Orde Baru pada 1997, Golkar selalu menang telak.

Selanjutnya, dilakukan penyederhanaan (fusi) parpol peserta pemilu. Fusi dilakukan pada 1973, dua tahun setelah pemilu pertama 1971 yang masih diikuti sejumlah parpol.

Sejumlah parpol dipaksa lebur menjadi tinggal dua parpol. Yang berbasis Islam dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Parpol nasionalis dan berbasis agama non-Islam dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Dan, aneh tapi nyata, parpol dibina oleh Departemen Dalam Negeri (kini Kementerian Dalam Negeri) secara berjenjang. Setiap pengurus parpol tentu saja wajib direstui oleh pembina.

Di tingkat pusat, pembina itu menteri dalam negeri. Di tingkat provinsi dijalankan oleh kepala Direktorat Sosial Politik (Kaditsospol). Di kabupten/kota oleh kepala Kantor Sosial Politik (Kakansospol).

Pemilu kedua Orde Baru (1977) sudah tinggal tiga peserta, yakni PPP, Golkar, dan PDI. Golkar selalu di tengah dengan nomor urut 2, yang didukung penuh birokrasi, TNI dan polisi.

Lalu, penyelenggara pemilu juga diakali. Penyelenggara pemilu bernama Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Kedudukannya bukan independen, melainkan bagian dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri).

Penyelenggara tak mungkin netral (independen). Petugasnya saja hingga tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagian adalah PNS yang anggota Golkar. Jalur A dan Jalur B dikerahkan secara sistematis, sehingga Golkar selalu menang telak.

Jadi, memang “pemilu pura-pura”. Sebagian besar rakyat memang berbondong-bondong ke TPS untuk memilih, tapi sejatinya tak ada pilihan.

Memilih PPP atau PDI sejatinya sama saja. Orang-orangnya telah diseleksi secara sistematis oleh penguasa melalui pembina parpol yang merupakan bagian Depdagri.

Karena dimobilisasi secara sistematis, angka partisipasi pemilih sangat tinggi. Rata-rata sekitar 93,6 persen setiap pemilu selama enam kali pemilu. Pemilih yang tak menggunakan hak pilih paling tinggi 6,4 persen. Sebagian karena alasan teknis, bukan politis.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com