KOMISI Pemilihan Umum (KPU) pada Jumat (3/11), telah menetapkan 9.917 orang sebagai calon anggota DPR RI dalam daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2024. Mereka dari 18 parpol peserta pemilu dan tersebar di 84 dapil.
KPU juga telah menetapkan masa kampanye Pemilu pada 28 November 2023-10 Februari 2024.
Sebelum masa kampanye dimulai, masih ada sejumlah catatan prinsip yang belum tertunaikan terkait keterbukaan riwayat hidup caleg dan ambang batas 30 persen caleg perempuan.
Harian Kompas (6/11) menulis, sebanyak 2.965 calon anggota DPR atau sekitar 30 persen dari total 9.917 calon dari 18 partai politik nasional peserta Pemilu 2024 tidak bersedia untuk memublikasikan daftar riwayat hidup.
Bahkan, lebih mengejutkan lagi, kala itu tidak ada satu pun calon dari dua partai politik, yaitu Partai Golkar dan Partai Solidaritas Indonesia, yang bersedia membuka daftar riwayat hidupnya.
Dalam epik lain, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan menyoroti rendahnya kedisiplinan partai politik memenuhi kewajiban mendaftarkan 30 persen caleg perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) DPR RI.
Berdasarkan Daftar Calon Tetap (DCT) yang telah diumumkan KPU RI 3 November lalu, 17 dari 18 partai politik peserta Pemilu 2024 gagal memenuhi kewajiban afirmasi perempuan itu.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar di benak kita, mengapa parpol enggan menunaikan syarat administratif yang prinsip seperti riwayat hidup calon anggota legislatifnya? Apakah ini sekadar keresahan pribadi atau ada alasan lain di baliknya?
Selain itu, mengapa partai politik tidak serius memenuhi kewajiban ambang batas 30 persen kuota perempuan? Apakah ini sistematis, struktural atau kealpaan saja?
Galibnya kita tidak bisa menyembunyikan rasa heran dan keanehan.
Lebih aneh lagi, dalam restriksi riwayat hidup caleg dilakukan secara sadar dan kolektif oleh partai politik dengan alasan menghindari ancaman teror.
Namun ironisnya, dalam situasi berbeda, kita "diteror" dengan baliho dan spanduk dari calon anggota legislatif di ruang publik.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan calon anggota legislatif yang tidak bersedia membuka riwayat hidupnya. Utamanya alasan privasi dan keamanan. Mereka khawatir akan digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyerang atau mendiskreditkannya.
Alasan-alasan tersebut tentu dapat dipahami terutama dalam dunia politik yang seringkali penuh risiko dan tekanan.
Namun, sebagai calon anggota DPR, mereka harus bersedia menghadapi pengawasan publik. Keterbukaan adalah harga yang harus mereka bayar sebagai bagian dari tugas yang diemban.
Di sisi lain, kewajiban memasukkan 30 persen perempuan dalam daftar calon merupakan langkah afirmatif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.
Kegagalan sebagian besar partai politik untuk memenuhi ambang batas dapat menciptakan ketidakseimbangan yang memengaruhi keragaman pandangan dan kepentingan yang diwakili di DPR.
Pemilu 2024 menjadi panggung bagi pertarungan ide dan visi untuk masa depan Indonesia. Namun, keberhasilan proses demokrasi memerlukan komitmen penuh terhadap nilai-nilai keterbukaan dan keterwakilan.
Melalui evaluasi mendalam terhadap fenomena ini, masyarakat dan pemilih dapat mendorong reformasi yang menjadikan proses pemilihan lebih transparan dan mewakili ragam suara dalam masyarakat Indonesia.