JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah membacakan putusan berkaitan dengan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi, berkenaan dengan putusan soal usia minimum capres-cawapres yang kontroversial.
Lampu sorot mengarah pada putusan etik terhadap mantan Ketua MK Anwar Usman.
MKMK menyatakan ipar Presiden Joko Widodo itu terlibat pelanggaran etik berat dan menjatuhi sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua MK.
Namun, selain itu, terdapat beberapa hal penting yang terungkap dalam putusan itu. Apa saja?
Sembilan hakim konstitusi secara kolektif diberi sanksi teguran lisan karena gagal menjaga rahasia internal Mahkamah.
Rahasia yang dimaksud yakni materi dan dinamika pembahasan di dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) ke pelapor dan pers.
Baca juga: Ganjar Hormati Putusan MKMK
Mereka semua juga dianggap membiarkan konflik kepentingan terjadi tanpa adanya inisatif untuk melakukan teguran sebagai pengawasan internal selaku sesama hakim, sebab adanya budaya ewuh pakewuh.
Dua hakim, yakni Saldi Isra dan Arief Hidayat, dinyatakan tidak melakukan pelanggaran etik dengan menumpahkan sisi emosional mereka di dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) mereka.
MKMK menilai, hal itu sah-sah saja sebagai wujud independensi seorang hakim.
Sebelumnya, dissenting opinion yang dipersoalkan itu berkaitan dengan putusan soal usia minimum capres-cawapres yang dinilai janggal.
Saldi, misalnya, menggunakan diksi "bingung, benar-benar bingung" dan mengungkap adanya ketergesaan memutus perkara sebelum KPU RI membuka pendaftaran capres-cawapres.
Baca juga: Usai Putusan MKMK, Eks Hakim Nilai Putusan MK soal Syarat Usia Capres Kehilangan Legitimasi
Sementara itu, Arief menggunakan diksi "kosmologi jahat" serta menyinggung kejanggalan keterlibatan Anwar Usman.
Eks kompetitor Anwar untuk kursi Ketua MK, Arief Hidayat, nyaris dipecat. Ia terbukti melanggar etik karena mengomentari "prahara MK" dan mengusulkan "reshuffle" seluruh hakim setelah putusan kontroversial itu.
Masalahnya, Arief sudah pernah dinyatakan langgar etik pada 2016 dan 2018. Pelanggaran etik untuk kali ketiga berturut seharusnya dianggap sebagai pelanggaran berat. Pelanggaran berat mengandung konsekuensi pemberhentian tidak dengan hormat.
Hal itu diatur Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2014 tentang MKMK. Beruntung, aturan itu sudah dinyatakan tidak berlaku, dengan berlakunya aturan baru soal MKMK dalam Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023.
Baca juga: MKMK Copot Anwar Usman, Syarat Batas Usia Diuji Kembali