Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Kisah "Bucin" Kuasa Partai Beringin dan Keengganan Jauh dari Istana

Kompas.com - 04/11/2023, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GOLKAR pra dan pascapilpres 2014 lalu sering kali terlihat sempoyongan tak karuan, bergerak linglung seperti layaknya seseorang sedang lupa ingatan. Penyebabnya adalah tarik menarik kuasa di internal partai dengan pemangku kuasa di Istana.

Namun itu dianggap wajar saja oleh publik. Karena pohon tersebut sangat besar, punya sejarah politik kekuasaan yang belum tertandingi, bahkan oleh PDIP sekalipun. Dan tak lupa, memang sangat "bucin" pada kekuasaan.

Sejarah berkuasa partai ini cukup lama. Jadi jika ada yang berpikir bahwa Partai Golkar sempoyongan karena ada kecenderungan akan mencondongkan diri ke luar halaman Istana, hampir pasti akan banyak yang tidak akan menerimanya.

Kemungkinan besar yang akan muncul adalah gejolak internal. Boleh jadi, akan muncul intrik-intrik dan kubu-kubuan.

Sekali lagi, wajari saja, tidak ada masalah. Rakyat pemilih pun saya kira akan mahfum belaka. Lah wong partai ini adalah partai yang tak mungkin jauh dari kekuasaan.

Napasnya bahkan boleh jadi dari angin kekuasaan. Tak ada hari tanpa kekuasaan. Dan kalau ditemukan ribut-ribut di dalamnya, pasti tak jauh dari urusan kekuasaan juga.

Meskipun berangkat bersama gerbong yang kalah, Beringin pasti tetap parkir pada akhirnya di halaman parkiran para pemenang.

Lihat saja tahun 2014 lalu. Publik menyaksikan Partai Golkar dengan berat hati harus mengatakan “goodbye” kepada sekondannya di dalam Koalisi Merah putih (KMP) untuk merapat ke Istana.

Menggunakan kacamata di atas, maka itupun biasa saja. Tak ada “farewell party” yang berlebihan dengan KMP kala itu.

Bahkan ketika itu tokoh sekaliber Prabowo Subianto sangat memahami dengan menyematkan sedikit kata permakluman bahwa Partai Gerindra memahami kondisi politik yang ada dan memahami keputusan “on the record dan off the record” yang diambil oleh partai dengan simbol pohon beringin itu jika akhirnya ternyata harus merapat kembali ke Istana alias kembali ke kebiasaan Beringin, yaitu memejamkan mata tertidur pulas di Istana dan terbangun di Istana pula.

Karena prinsip memahami itulah Partai Gerindra akhirnya sangat ikhlas menjadi oposisi bersama PKS pasca-2014, terlepas urusan seberapa dekat Prabowo dengan Aburizal Bakrie secara personal.

Hal tersebut, bagi Partai Gerindra, layaknya memutuskan untuk menjomlo. Toh adigium millenialnya berpesan bahwa jomlo itu pilihan, bukan nasib. 

Kadang-kadang orang jomblo memang suka membela diri, karena realitasnya memang sendiri, tak ada pasangan dan kawan, maka definisinya sudah seharusnya menjomblo, apapun latar belakang yang menyebabkan mengapa seseorang sampai harus menjomblo.

Tentu ketika itu bukan perkara bahwa di dalam politik tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi, tapi adalah perkara "saling memahami." Sekali lagi saya tekankan, yaitu perkara saling memahami.

Koalisi Merah Putih yang semula kelihatan begitu tambun dengan anggota-anggota koalisi yang para politisinya memang sudah berumur di atas 50 tahun (artinya obesitas adalah hal yang biasa), memahami Partai Golkar, partai terbesar di dalam koalisi dan memaklumi mengapa sampai terombang ambing ombak besar antara Ancol (HR Agung Laksono) dan Bali (Aburizal Bakrie).

Kenyataan tersebut memang harus dipahami semua pihak, terutama oleh pihak-pihak yang semula telah membesarkan KMP. Bukankah memang sudah seharusnya untuk saling memahami.

Mengapa? Karena berpolitik adalah bersikap realistis. Jika tak butuh berteriak melebihi kenyataan, mengapa harus berteriak berlebihan.

Jika memang ‘bubar” adalah pilihan terbaik, ya semua pihak harus menerima hal semacam itu. Ibarat orang berpisah, tapi tak bercerai.

Yang satu harus mengais rezeki di dalam Istana, yang lain harus mencari makan di luar Istana, ya sama saja, sama-sama judulnya mencari makan. Itulah yang disebut realistis di dalam berpolitik praktis.

Ibarat pasangan lama yang sudah saling memahami, yang satu harus merelakan diri menjadi “emak-emak” genit yang cubit sana cubit sini, yang satu berfilsafat tentang kesetiaan dan murninya sebuah perasaan, sehingga dikhianatipun masih terasa sangat manis.

Jika ada yang menyebut itu sebagai masokisme politik, ya itu cuma perkara terminologi saja, kebetulan yang memberi gelar dan istilah tersebut memahami ilmu psikologi, misalnya.

Toh orang partai jarang juga yang belajar psikologi, tak penting bagi mereka istilah ini dan itu yang diproduksi di kampus atau di laboratorium, sungguh tak penting, percaya deh sama saya.

Bukankah sudah biasa para politisi menganut ajaran “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Mau dikata apa, mereka tetap berasaskan “terserah”. Maksudnya, “terserah” siapa yang anjing dan siapa yang kafilah, yang penting asasnya ya begitu itu, “terserah”.

Bahkan jika raja dangdut H. Rhoma Irama pun ikut terenyuh melihat kondisi yang ada saking semrawutnya, lalu berujar “terlalu” dan tanpa sadar tertular, kemudian ikut-ikutan mendirikan partai.

Lalu asas itu akhirnya sedikit berubah menjadi “terlalu terserah”, tapi konsep utamanya tetap sama, yakni “terserah”.

"Terserah orang-orang pada bicara apa, sakit ya sakit saya, partai ya partai saya, untung ya untung saya, tapi kalau rugi ya nanti dulu”, begitulah kira-kira prinsipnya.

Di sisi lain, jika Istana terkesan mengobok-obok partai berwarna kuning sejak pilpres 2014 berakhir, bahkan sampai hari ini, maka itupun wajari saja. Itulah politik. Apapun akan menjadi sah-sah saja jika semua pihak pada akhirnya bisa diajak untuk menyepakatinya.

Istana (Istana bisa direpresentasikan dengan apa saja, selama itu terkait dengan istana alias tidak melulu harus presiden) yang kekuasaannya tak perlu lagi dipertanyakan, pasti mampu melakukan itu.

Nah, topiknya akan kembali lagi ke urusan realistis tadi. Jika Istana mampu, maka wajar Istana melakukan itu. Obok sana obok sini, siapa berani larang. Itu adalah realisme politik. Jika mampu, ya lakukan saja.

Urusan ada aturan main, itu pastinya urusan belakangan. Aturan dibuat untuk diubah, jika perlu. Jika tak perlu, ya mari sama-sama kita berteriak “tegakkan hukum meskipun langit runtuh”.

Dengan logika seperti itu, terlihat begitu sederhananya urusan politik itu, bukan? Rakyat tak perlu pusing dengan mengatakan bahwa urusan politik adalah urusan orang gedean, urusan yang memusingkan.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Nasional
TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

Nasional
Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Nasional
PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

Nasional
Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Nasional
Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Nasional
Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Nasional
PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

Nasional
Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Nasional
Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Nasional
Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Nasional
Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Nasional
Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Nasional
Nasdem: Anies 'Top Priority' Jadi Cagub DKI

Nasdem: Anies "Top Priority" Jadi Cagub DKI

Nasional
Sekjen PDI-P: Banyak Pengurus Ranting Minta Pertemuan Megawati-Jokowi Tak Terjadi

Sekjen PDI-P: Banyak Pengurus Ranting Minta Pertemuan Megawati-Jokowi Tak Terjadi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com