Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Muncul Gugatan agar Calon Hakim MK Tak Bersaudara dengan Presiden dan Anggota DPR

Kompas.com - 30/10/2023, 13:11 WIB
Vitorio Mantalean,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang advokat bernama Mochamad Adhi Tiawarma menggugat Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang syarat pengangkatan calon hakim Mahkamah Konstitusi (UU MK) ke MK.

Dalam permohonan yang diregister dengan nomor perkara 131/PUU-XXI/2023 itu, ia meminta agar pasal itu dinyatakan inkonstitusional dan syarat calon hakim konstitusi ditambah satu huruf, yakni "tidak terikat hubungan keluarga saudara atau semenda sampai derajat ketiga dengan presiden dan/atau anggota DPR".

"Pada saat seorang hakim konstitusi yang memiliki hubungan keluarga searah atau semenda sampai derajat ketiga dengan presiden dan/atau anggota DPR, hakim konstitusi tidak berada dalam situasi bebas melaksanakan fungsi yudisialnya, dan tidak independen dalam memeriksa, memutus, dan mengadili perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945," kata Adhi dalam permohonannya, dikutip situs resmi MK, Senin (30/10/2023).

Baca juga: Putusan MK Digugat, Penggugat Minta Hanya Gubernur yang Boleh Jadi Capres-Cawapres

Pasalnya, meskipun MK mengadili norma, bukan perseorangan, namun jelas presiden dan DPR memiliki kepentingan atas undang-undang yang diadili.

Menurut Pasal 20 ayat (2) dan (4) UUD 1945, setiap rancangan undang-undang dibahas dan disetujui bersama oleh presiden dan DPR. Undang-undang yang telah disetujui bersama juga disahkan oleh presiden.

"Presiden dan DPR dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 menjadi pihak yang akan mempertahankan agar undang-undang tidak dibatalkan oleh MK melalui uji materiil dan uji formil," jelas Adhi.

Ia pun berpandangan, ketentuan saat ini yang tak mencantumkan larangan itu secara nyata dan jelas tidak selaras dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Baca juga: Masyarakat Sipil Desak Komisi III DPR Bentuk Pansus Tindaklanjuti Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres

Beleid itu mengatur bahwa ketua majelis hakim dan hakim anggota wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang diadili.

Perkara ini sudah memasuki tahapan sidang pemeriksaan pendahuluan pada 26 Oktober lalu.

Sebelumnya, isu politik dinasti di sekitar MK mencuat setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.

Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.

Baca juga: BRIN Anggap Putusan MK Bagian dari Upaya Melegalkan Dinasti Politik

Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.

Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).

Anwar membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju putusan nomor 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.

Hingga kini, MK telah menerima belasan aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

Baca juga: Survei Indikator: Sebagian Suara Pendukung Prabowo Beralih ke Anies Usai Putusan MK

Aduan tersebut bervariasi, mulai dari melaporkan Ketua MK Anwar Usman selaku paman Gibran, ada yang memintanya mengundurkan diri, ada yang melaporkan seluruh hakim konstitusi, ada yang melaporkan hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), dan aduan yang mendesak agar segera dibentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK).

MKMK sendiri sudah dibentuk dan kini mulai bekerja, digawangi oleh Jimly Asshiddiqie (pendiri MK sekaligus perwakilan tokoh masyarakat), Bintan Saragih (eks anggota Dewan Etik MK), dan Wahiduddin Adams (hakim konstitusi aktif), guna mengusut dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam putusan nomor 90 itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Jokowi Klaim Kenaikan Harga Beras RI Lebih Rendah dari Negara Lain

Jokowi Klaim Kenaikan Harga Beras RI Lebih Rendah dari Negara Lain

Nasional
Layani Jemaah Haji, KKHI Madinah Siapkan UGD dan 10 Ambulans

Layani Jemaah Haji, KKHI Madinah Siapkan UGD dan 10 Ambulans

Nasional
Saksi Sebut Kumpulkan Uang Rp 600 juta dari Sisa Anggaran Rapat untuk SYL Kunjungan ke Brasil

Saksi Sebut Kumpulkan Uang Rp 600 juta dari Sisa Anggaran Rapat untuk SYL Kunjungan ke Brasil

Nasional
Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Nasional
KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

Nasional
Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Nasional
100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

Nasional
KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

Nasional
Tata Kelola Makan Siang Gratis

Tata Kelola Makan Siang Gratis

Nasional
Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Nasional
Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Nasional
Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Nasional
KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

Nasional
Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com