PENGUMUMAN Gibran Rakabuming Raka (36), putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto (72), Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), tak pelak lagi mengguncang lanskap politik Indonesia.
Langkah signifikan ini menimbulkan pertanyaan tentang demokrasi, politik dinasti, dan representasi kaum muda dalam lanskap politik Indonesia.
Bagi para pengamat, langkah ini menggemakan kembali jejak-jejak dinasti. Demokrasi Indonesia, yang hidup dan bersemangat sejak gerakan Reformasi pada 1998, selalu tertatih-tatih di antara etos demokrasi murni dan iming-iming kekuasaan yang terpusat.
Jokowi muncul sebagai representasi dari demokrasi akar rumput. Perjalanannya dari seorang pengusaha mebel menjadi wali kota Solo dan akhirnya menjadi Presiden, menggarisbawahi narasi bahwa siapa pun bisa bercita-cita untuk menduduki jabatan tertinggi di Indonesia.
Namun, dengan naiknya Gibran, ada pergeseran yang tidak kentara. Meskipun wali kota muda Solo ini tentu saja membawa beban politik, menjadi putra seorang presiden yang sedang menjabat menawarkan keuntungan yang sulit ditandingi oleh kandidat lain.
Hal ini menjadi semakin jelas ketika kita melihat bahwa Gibran didukung oleh kekuatan penuh dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Peristiwa ini memunculkan hal menarik: Dengan dicalonkannya Gibran ke dalam bursa calon wakil presiden, ketidakberpihakan dan kredibilitas Jokowi sebagai presiden akan diuji secara kritis.
Kesucian proses pemilihan umum (pemilu) berpotensi terancam, mengundang kontemplasi tentang kemungkinan Jokowi memanfaatkan aparat negara untuk mendukung putranya.
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menurunkan batas usia bagi calon presiden dan wakil presiden, asalkan mereka memiliki pengalaman sebagai kepala daerah, dipandang oleh banyak orang sebagai dukungan bagi populasi muda Indonesia yang sedang berkembang.
Pada 2024, sebanyak 60 persen dari pemilih adalah generasi milenial dan Gen Z, angka yang terlalu signifikan untuk diabaikan oleh para politisi.
Gugatan untuk perubahan ini diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia, yang ketua umumnya adalah Kaesang Pangarep, adik kandung Gibran.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman adalah saudara ipar dari Jokowi. Dengan adanya hubungan kekeluargaan ini, dugaan nepotisme dan dinasti politik telah disuarakan.
Pencalonan Gibran dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menjembatani kesenjangan generasi dan sebagai manifestasi dari pengaruh keluarga dan politik.
Secara historis, gerakan pemuda di Indonesia telah memainkan peran transformatif. Sumpah Pemuda pada 1928 bukan hanya deklarasi, melainkan juga kekuatan yang menggembleng untuk melawan pemerintahan kolonial.
Demikian pula, gerakan Reformasi melihat pemuda sebagai garda terdepan dan pusat, menantang status quo.
Membandingkan gerakan akar rumput yang tulus ini dengan kebangkitan Gibran, orang mungkin mempertanyakan apakah semangat representasi kaum muda tetap konsisten.
Namun demikian, representasi kaum muda harus dijaga agar tidak menjadi tokenisme belaka. Untuk benar-benar mewakili kaum muda, kandidat harus menyuarakan aspirasi, tantangan, dan harapan mereka yang melampaui usia.
Penunjukan Gibran berisiko dilihat sebagai langkah strategis, memanfaatkan kemudaannya untuk menggaet pemilih muda, namun belum tentu mewakili aspirasi mereka yang sebenarnya.
Langkah Mahkamah Konstitusi untuk menurunkan batasan usia, meskipun seolah-olah merupakan dukungan terhadap demografi muda Indonesia, ditanggapi dengan skeptisisme, terutama karena waktunya yang bertepatan dengan pencalonan Gibran.
Setelah keputusan ini, sentimen negatif publik terhadap Gibran menunjukkan adanya manipulasi ketentuan hukum untuk mengakomodasi ambisi politik.