JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat militer Centra Initiative, Al Araf mengatakan, dalam negara demokrasi, partai politik tidak boleh menjadi obyek serta target pemantauan intelijen dan presiden.
Pernyataan ini Al Araf sampaikan guna merespons pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengaku mengantingi informasi intelijen "daleman" internal parpol.
Menurut Al Araf, tindakan memata-matai partai politik dalam negara demokrasi merupakan persoalan serius.
"Tidak boleh dan tidak bisa dalam negara demokrasi, presiden beserta perangkat intelijennya menjadikan partai politik sebagai obyek dan target pemantauan intelijen," kata Al Araf saat dihubungi Kompas.com, Senin (18/9/2023).
Baca juga: Jokowi Pegang Data Intelijen Daleman Parpol, Gubernur Lemhannas Ingatkan soal Skandal Watergate
Meski mengakui bahwa intelijen bertugas memasok informasi kepada presiden, namun hal itu harus terkait masalah keamanan nasional atau musuh negara, alih-alih mengenai masyarakat politik yang sama hal ini adalah parpol.
Al Araf menyebutkan, ketentuan itu merujuk pada Pasal 1 huruf 1 Undang-Undang Intelijen yang berbunyi, "Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional".
Sementara, huruf 2 Pasal tersebut menyatakan bahwa Intelijen Negara merupakan penyelenggara intelijen yang menjadi bagian integral sistem keamanan nasional.
Sementara itu, partai politik dan masyarakat sipil merupakan unsur utama dalam negara demokrasi.
Lebih jauh, Al Araf menilai, tindakan Jokowi mematai-matai parpol merupakan kepentingan politiknya. "Tidak pantas dan tidak boleh presiden memantau, menyadap, mengawasi kepada mereka dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik presiden," ujar Al Araf.
Berbeda dengan Al Araf, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, sebagai presiden, Jokowi berhak dan bahkan mendapat perintah dari undang-undang untuk mengantongi informasi intelijen.
Baca juga: Jokowi Nyatakan Pegang Data Intelijen soal Parpol, Cak Imin: Arah Koalisi Hak Masing-masing
Mahfud menambahkan, pejabat setingkat Menteri Koordinator (Menko) secara berkala juga mendapatkan informasi intelijen terkait partai politik, masyarakat, persoalan hukum, dan isu sensitif di masyarakat.
“Ya enggak bisa dong (Jokowi disalahkan), memang laporan presiden. Menteri saja punya apalagi presiden,” ujar Mahfud saat ditemui usai menghadiri jalan sehat di kompleks Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Jakarta Pusat, Minggu (17/9/2023).
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengaku mengetahui keinginan partai politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Pernyatan itu Jokowi sampaikan di depan relawan pendukungnya ketika membuka Rapat Kerja Nasional Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Hotel Salak, Bogor, Sabtu (16/9/2023).
Saya tahu dalamnya partai seperti apa saya tahu, partai-partai seperti apa saya tahu. Ingin mereka menuju ke mana juga saya ngerti," kata Jokowi, Sabtu, dikutip dari YouTube Kompas TV.
Meski demikian, Jokowi tidak mengungkap informasi apa yang ia ketahui terkait keinginan partai politik itu.
Ia hanya menyebut informasi tersebut diperoleh dari aparat intelijen di bawah kendalinya, baik Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.