JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendesak Polri mengusut tuntas aksi pencabulan seorang guru kepada puluhan murid di Bogor.
Pasalnya, jumlah korban diperkirakan lebih banyak dari yang terlaporkan. Adapun jumlah korban yang melapor ke pihak yang berwajib sebanyak 5 orang dan 4 diantaranya telah diberikan pendampingan.
Namun demikian, jumlah korban diduga mencapai 30 anak.
"Untuk memutus mata rantai kekerasan seksual yang terjadi di sekolah, kami mendorong pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini. Jangan sampai ada korban lain yang tidak mendapatkan penanganan dan memendam trauma berkepanjangan sampai dewasa nanti,” kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Nahar dalam siaran pers, Jumat (15/9/2023).
Baca juga: Pelaku Pencabulan 17 Anak di Apartemen Sleman Dijatuhi Hukuman 16 Tahun Penjara
Nahar menyampaikan, KemenPPPA menyayangkan terjadikan kasus pencabulan tersebut. Seorang wali kelas harusnya membimbing dan melindungi murid-muridnya, serta dipercaya oleh para orang tua.
Oleh karena itu, ia mendorong penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual juga tidak dilakukan di luar proses peradilan sesuai dengan amanat UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Ia mengungkapkan, Tim Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) KemenPPPA akan terus berkoordinasi dengan UPTD PPA Provinsi Jawa Barat dan UPTD PPA Kota Bogor untuk memantau perkembangan proses hukum dan kondisi korban.
Pihaknya akan melakukan asesmen bagi korban untuk mengetahui kondisi mental mereka.
"Dari hasil asesmen nantinya dapat ditentukan kebutuhannya dan pemberian dukungan seperti apa yang perlu diberikan,” tutur Nahar.
Baca juga: Terdakwa Pencabulan 17 Anak di Jambi Tetap Mengaku sebagai Korban
Selain itu, Nahar mendorong UPTD PPA dan pihak sekolah untuk menguatkan orang tua korban dan mengedukasi para orang tua yang anaknya diduga mengalami kekerasan seksual. Hal itu diharapkan bisa mendorong lebih banyak korban dan keluarga korban untuk melaporkan kasusnya.
Ia meyakini, kurangnya pendampingan dari orangtua terkait kondisi anak akan menjadi pemicu anak tidak mendapatkan dukungan emosional dari sosok terdekat.
Dampaknya anak akan sulit menemukan sosok yang bisa membantu dalam proses resiliensi ataupun mengekspresikan emosi sehingga dapat membantu anak dalam proses pemulihan psikisnya ke depan.
“Pihak sekolah juga diharapkan bisa mendukung penyelesaian kasus kekerasan seksual yang terjadi. Mulai dari terus melakukan koordinasi dengan pihak/lembaga terkait dalam rangka penyelesaian tindak kekerasan, hingga menjamin hak peserta didik yang menjadi korban agar mereka bisa terus mengenyam pendidikan tanpa stigma,” kata Nahar.
Baca juga: Oknum ASN di Alor NTT Jadi Tersangka Pencabulan 5 Anak di Bawah Umur
Sebagai informasi, dari hasil koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat, diketahui pencabulan terjadi sejak akhir tahun 2022 hingga Mei 2023 terhadap murid berusia 10-11 tahun di kelas 5 hingga 6 sekolah dasar.
Pelaku bisa terancam pidana penjara paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp 5 miliar. Ketentuan ini sesuai dengan pasal 82 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.