JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyinggung banyaknya pegawai honorer yang baru mulai bekerja pukul 08.00, tetapi pukul 10.00 sudah “nongkrong” dan menghilang dari kantor.
Keberadaan tenaga honorer semacam itu Tito sampaikan saat membicarakan banyaknya pegawai honorer yang berlatar belakang tim sukses (timses) dan anggota keluarga kepala daerah.
Menurut Tito, timses dan anggota keluarga kepala daerah itu tidak memiliki keahlian khusus.
“Dikasih kerjaan, jam 8 masuk, tidak punya keahlian, jam 10 sudah ngopi-ngopi, sudah hilang,” ujar Tito dalam acara penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang digelar Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) di Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu (13/9/2023).
Tito mengatakan, tidak semua pegawai honorer memiliki kualitas dan kinerja yang buruk semacam itu.
Menurut dia, terdapat tiga jenis pegawai honorer, yakni spesialis tenaga kesehatan seperti perawat, guru, serta bagian administrasi.
Tito menuturkan, dua jenis pegawai honorer yang pertama masih bekerja dengan baik. Namun, pegawai administrasi tidak sedikit merupakan “titipan” kepala daerah terpilih.
“Tenaga administrasi ini rata-rata adalah tim sukses atau keluarganya kepala daerah atau pejabat di situ,” kata Tito.
Tito menyebutkan, jumlah pegawai honorer titipan itu terus menumpuk seiring pergantian kepala daerah.
Sebab, masing-masing kepala daerah membawa timses dan anggota keluarganya untuk bekerja di pemerintahan sebagai pegawai honorer.
Baca juga: Pemkab Garut Kunker ke Luar Negeri untuk Atasi Kemiskinan, Mendagri: Ada yang Enggak Beres
“Terus numpuk jumlah tenaga honorer yang tidak punya keahlian khusus,” tutur mantan Kapolri itu.
Situasi ini membuat alokasi anggaran pemerintah daerah banyak dialokasikan untuk tenaga honorer dengan kerja dan latar belakang tidak jelas.
Selain itu, kepala daerah juga kerap menggunakan modus banyaknya tenaga honorer untuk menghabiskan anggaran.
Setelah memperbanyak jumlah tenaga honorer, mereka juga membuat program pemerintahan yang banyak dikucurkan untuk operasional pegawai tersebut.
“Belanja modal yang betul-betul menyentuh untuk rakyat, membangun jalan, mungkin cuma 15-20 persen, jadi tidak ada kemajuan apa-apa,” tutur Tito.
Tito mengungkapkan, tidak sedikit dari pemerintah daerah itu bergantung secara keuangan ke pemerintah pusat.