SEKITAR 7.500 hingga 10.000 warga menempati 16 kampung Adat di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Warga penghuni pulau sudah berada di sana lebih seratus tahun sebelum Republik Indonesia didirikan.
Klaim warga adat di Rempang ini dapat dibuktikan. Seorang pejabat Belanda, P. Wink pernah berkunjung ke sana pada 1930 dan menulis hasil kunjungannya dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang (Kemendikbud Ristek, 2020).
Namun, para pejabat negara berpandangan pulau Rempang kosong tak bertuan. Secara sepihak diklaim milik negara.
Beranjak dari klaim kepemilikan negara, warga yang tinggal di sana dapat digusur kapan saja atas nama pembangunan.
Apakah makna kehidupan warga adat (suku asli) di 16 kampung itu di mata para pejabat Indonesia? Dari cara penggusuran dapat diketahui, kehidupan dan penghidupan penduduk asli Pulau Rempang itu tak bernilai sama sekali.
Terutama dihadapan hitung-hitungan bisnis. Konon, bisnis Rempang Eco City itu diperkirakan menarik nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 381 triliun pada 2080.
Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) telah mengeluarkan perintah agar TNI, Polisi dan Satpol PP mengosongkan kawasan Pulau Rempang dari seluruh penduduk asli, sebelum 28 September 2023.
Karena pada 28 September nanti, Pulau Rempang akan diserahkan kepada pengembang.
Peristiwa seperti ini mengingatkan kita pada tragedi-tragedi pembantaian suku asli Aborigin di Australia, penduduk asli Maori di Selandia Baru, suku asli Indian di Amerika Serikat, dan banyak lagi etnik-etnik warga adat di Amerika Latin bernasib serupa.
Semua mereka pernah digusur dan diusir dari Tanah-Air yang telah mereka tempati ratusan tahun karena para pendatang tidak mengakui kepemilikan warga adat itu atas tanah mereka.
Pengusiran itu selalu atas nama pembangunan. Tentu, yang dimaksudkan dengan kata pembangunan dalam makna, mengutamakan kepentingan bisnis sektor swasta.
Mempriotaskan para pemilik modal dibanding kehidupan warga adat yang telah tinggal berabad-abad di sana.
Bukan hanya sampai di sana, peristiwa seperti itu mengingatkan kita pada cara perlakuan Serikat Dagang Belanda (VOC) dan pemerintah kolonial Belanda terhadap penduduk pribumi di Nusantara sebelum Republik Indonesia didirikan.
Polanya sama, dimulai dari klaim kepemilikan sepihak kolonial, tidak mengakui warga adat atau penduduk asli sebagai pemilik sah Tanah-Air mereka, dan menyerahkan wilayah-wilayah adat kepada kompeni-kompeni untuk kepentingan bisnis besar.
Anehnya, tokoh-tokoh nasional kita di pemerintahan Jokowi memuji perlawanan Pangeran Diponegoro bersama rakyat terhadap klaim kekuasaan sepihak kolonial Belanda atas tanah Jawa pada waktu itu, tetapi secara kontras menyayangkan dan meminta suku-suku asli di Rempang tidak melakukan perlawanan. Pasrah saja, nurut saja.