Diponogoro menolak tunduk terhadap patok-patok Belanda yang melewati kuburan nenek moyang warga pribumi. Menegakan prinsip sadhumuk bathuk sanyari Bumi menolak kehormatan dan tanah di-injak-injak oleh Belanda (Elcid Li, 2023).
Bukankah juga ada kuburan nenek moyang Orang Melayu yang umurnya lebih tua dari umur Republik Indonesia di Pulau Rempang? Apa bedanya perjuangan Diponogoro dengan perlawanan suku-suku asli di Rempang saat ini?
Margaret Kohn dan Keally Mcbride (2011) dalam studi mereka tentang teori politik poskolonial mengajukan pertanyaan reflektif sangat relevan dengan situasi saat ini di Rempang, apakah pemerintah negara bekas jajahan yang sebelumnya menyalahkan rezim kolonial mampu membangun model politik alternatif yang berbeda dari kolonial mereka?
Mengingat, dalam pengamatan Sianipar (2004), kebijakan-kebijakan pemerintah negara bekas jajahan Eropa cenderung mengikuti cara pandang dan cara perlakuan yang sekian lama dipraktikkan oleh pemerintah penjajah mereka di negeri bersangkutan.
Dalam konteks Rempang saat ini, perampasan lahan komunal warga adat untuk diserahkan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta merupakan ciri khas kebijakan liberalisme ekonomi yang diajarkan pemerintah kolonial sebelum Indonesia merdeka.
Republik ini memang mengakui hak ulayat (tanah milik bersama berdasarkan hukum adat), namun selama tidak bertentangan dengan kepentingan pembangunan.
Intinya, pajak dan penghasilan negara. Lebih inti lagi, penghasilan para pejabat negara yang memberi izin, melindungi, dan menjamin keamanan pengembang.
Tidak ada yang lebih inti dan esensi dari itu setiap kali para pejabat Indonesia berbicara tentang kepentingan pembangunan di Rempang.
Tentu saja, warga adat di Rempang tidak sendirian mengalami masalah seperti ini. Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkapkan terdapat 241 sengketa penguasahaan lahan pada 2020. Lagi-lagi antara perusahaan-perusahaan swasta dan rakyat jelata. Tersebar di 359 wilayah di Indonesia (Putra, 2021).
Sejarah 78 tahun Indonesia berisi banyak cerita penggusuran warga adat. Melihat kembali pikiran kolonial mungkin masih relevan digunakan dalam tata cara mengelola negara.
Sepatutnya Indonesia bisa belajar pada pengalaman Selandia Baru dan beberapa negara di kawasan Amerika Latin, yang sudah berhasil berkompromi atas kepentingan pembangunan dan penghidupan masyarakat adat berjalan bersama-sama secara kolobaratif. Tidak perlu saling menegasikan satu sama lain!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.