ADA dua peristiwa menarik di Pekalongan, Jawa Tengah, pada Selasa lalu (29/08/2023).
Pertama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) “blusukan” di pasar tradisional Grogolan, Kelurahan Landungsari, Pekalongan dengan mengajak Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Jokowi juga membagikan kaus, sembako dan uang tunai (Kompas.com, 29/08/2023).
Kedua, saat Presiden Jokowi membuka World Sufi Assembly (WSA) atau Muktamar Sufi Internasional di Gedung Sahid International Convention Center (SICC), Kota Pekalongan. Saya kutip langsung laporan Kompas.com (29/08/2023).
“Usai Jokowi memukul gong sebagai tanda acara telah dibuka, presiden pun langsung turun dari panggung sambil menggandeng Habib Luthfi Ali bin Yahya. Di belakangnya, tampak Prabowo dan Ganjar bergandengan tangan mesra yang juga hendak turun dari panggung. Sontak momen itu pun mendapat tepuk tangan meriah dari para peserta Muktamar Sufi Internasional. Kedua bakal calon presiden (bacapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 itu baru saling melepas gandengan tangan saat sudah dekat dengan tempat duduknya masing-masing.”
Kita tahu bahwa Prabowo dan Ganjar sedang adu strategi untuk menggantikan Jokowi sebagai presiden RI pada Pilpres 2024. Kedua bakal calon presiden (bacapres) itu juga sudah dideklarasikan oleh partai politik (parpol) atau koalisi parpol bakal pengusungnya.
Prabowo dijagokan oleh koalisi Partai Gerindra, PKB, PBB, PAN, dan Partai Golkar. Semuanya merupakan parpol koalisi pemerintahan Jokowi.
Ganjar dijagokan oleh PDIP, parpol pengusung Jokowi pada dua kali pemilihan wali kota Solo, pemilihan gubernur DKI, dan dua kali pilres. Ganjar juga didukung parpol pendukung pemerintahan Jokowi, di antaranya PPP, Perindo, Partai Hanura.
Memang belum resmi. Pendaftaran pasangan bakal capres-cawapres akan dibuka oleh KPU pada 19 Oktober 2023-25 November 2023.
Ibarat perkawinan, baru pacaran. Belum ada akad nikah, belum ada janur melengkung. Berbagai kemungkinan bisa terjadi.
Lalu, apa makna dua peristiwa di Pekalongan itu?
Di buku yang sudah tergolong klasik, yang berjudul Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (1986), Fachry Ali melihat prinsip keselarasan (harmoni) yang menjadi inti hidup Jawa dengan sendirinya melahirkan gejala pemusatan kekuasaan.
Kekuasaan yang terbagi-bagi atau terpencar-pencar akan menyebabkan timbulnya ketidakteraturan dan mengundang berbagai konflik.
Menurut Fachry Ali, Orde Baru yang dikomandani Presiden Soeharto merupakan representasi paham kekuasaan Jawa. Soeharto tidak suka kekuasaan yang terpencar-pencar. Ia menyerapnya secara lahir (kelembagaan) dan batin (ideologi).
Restrukturisasi kelembagaan politik dan pengasastunggalan ideologi kepartaian dilakukan. Lawan politik, “liyan” (the others) dibungkam dan disingkirkan dari panggung politik resmi.
Tak boleh ada suara lain di masyarakat. Surat kabar, majalah, media massa yang bersuara lain diberedel. Benar, tak ada suara sumbang. Namun, menurut saya, yang terjadi bukan “keselarasan”, melainkan “keseragaman”.