JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari menyatakan, KPU akan mengatur bahwa lembaga pendidikan yang boleh dijadikan tempat kampanye pemilihan umum (pemilu) hanyalah perguruan tinggi.
Hasyim beralasan, perguruan tinggi adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang seluruh peserta didiknya sudah mempunyai hak pilih dalam pemilu.
"Lembaga pendidikan atau tempat pendidikan yang akan kita atur itu yang di situ peserta didiknya adalah masuk kategori pemilih, yang paling memungkinkan kan yang di perguruan tinggi," kata Hasyim di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Baca juga: Soal Kader PDI-P Ajak Milih Sebelum Masa Kampanye, Bawaslu: Sudah Diproses
Hasyim menuturkan, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu yang melarang pelibatan warga negara yang belum masuk kategori pemilih dalam acara kampanye.
"Kalau di Sekolah Menengah Atas (SMA) kan masih sebagian di bawah 17, sebagian sudah 17 ke atas," ujar dia.
Namun demikian, Hasyim menegaskan bahwa KPU belum selesai menyusun revisi Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu.
Aturan tersebut direvisi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye dan atas undangan pengelola.
Hasyim menuturkan, KPU masih menyusun draf revisi PKPU tersebut sambil menerima masukan dari berbagai pihak.
"Ya akan kita bahas, kan dibahas dulu dengan berbagai pihak," ujar Hasyim.
Baca juga: Jangan Jadikan Lembaga Pendidikan Jadi Arena Politik Praktis
Ia mengatakan, rancangan peraturan tersebut juga akan dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah sebelum diberlakukan.
Sebelumnya, banyak pihak yang meminta agar lingkungan sekolah steril dari aktivitas politik, terlepas MK mengizinkan kampanye di lingkungan pendidikan
"Sekolah seharusnya dijaga agar tetap menjadi ruang publik yang netral dari aktivitas politik elektoral yang sarat dengan kepentingan personal dan kelompok serta tidak bebas dari kekerasan, terutama kekerasan simbolis dan verbal serta pengaburan batas antara imajinasi dengan kenyataan dalam retorika dan narasi janji-janji kampanye pemilu/pilkada," ujar anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvana Apituley, Rabu (23/8/2023).
"Konten kampanye politik tersebut bukanlah materi kampanye yang sesuai untuk dikonsumsi oleh anak, bahkan tidak untuk anak berusia 17 tahun yang sudah memiliki hak pilih," tambahnya.
KPAI menyayangkan putusan MK tersebut, menyinggung soal hak-hak anak yang dijamin oleh konstitusi dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, misalnya, negara mengatur bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
KPAI khawatir, kampanye politik di sekolah menimbulkan manipulasi, eksploitasi, dan penyalahgunaan anak.
Lalu, UU Perlindungan Anak juga menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
"Berbagai bentuk materi kampanye yang tidak sesuai dan dapat merusak perkembangan emosi dan mental anak, berupa agitasi, propaganda, stigma dan hoaks yang mengadu domba tentang lawan politik, ajakan untuk mencurigai dan membenci, serta politisasi identitas yang dapat memperuncing disharmoni, akan membentuk persepsi, sikap dan perilaku sosial anak yang negatif pula," jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.