JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Kabasarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka dugaan suap.
Henri diduga menerima suap lewat kode "Dako" atau dana komando sebesar Rp 88,3 miliar terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas tahun 2021-2023.
Penatapan status hukum Henri berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) terhadap 11 orang di Jakarta dan Bekasi pada Selasa (25/7/2023).
Setelah dilakukan penyidikan, KPK menetapkan lima orang tersangka. Salah satunya adalah Henri yang merupakan perwira tinggi bintang tiga TNI Angkatan Udara itu.
Baca juga: Puspen TNI Sebut Penahanan Kabasarnas Hendri Alfiandi Tunggu Proses Letkol Afri Selesai
Adapun penetapan tersangka ini dilakukan setelah KPK melakukan pemeriksaan dan gelar perkara bersama Pusat Polisi Militer (POM) TNI.
Selain Henri, KPK juga menetapkan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letnan Kolonel (Adm) Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka.
KPK juga menetapkan tiga orang dari pihak swasta atau sipil sebagai tersangka. Mereka adalah MG Komisaris Utama PT MGCS, MR Direktur Utama PT IGK, dan RA Direktur Utama PT KAU.
Terlepas dari jerat hukum yang tengah dihadapi, Henri ternyata pernah menantang jet tempur F/A-18 Hornet milik Australia yang melanggar wilayah udara nasional Indonesia.
Baca juga: Kasus Basarnas: Persekongkolan Lelang dan Gurita Korupsi di Indonesia
Tak lama setelah FWIC selesai, Henri mendapat tugas untuk berangkat ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), 12 September 1999.
Henri datang untuk menggantikan kelompok penerbang terdahulu yang melaksanakan standby operasi setelah Dili dilanda konflik pasca-jajak pendapat.
Saat itu diberlakukan pergantian penerbang setiap dua minggu sekali.
"Saat ke Kupang dengan Hercules, saya satu pesawat dengan Pak Marie Muhammad sebagai Ketua PMI," kenan Henri, dikutip dari Mylesat.com, Kamis (27/7/2023).
Baca juga: KPK Klaim Puspom TNI Akui Kabasarnas Terima Suap
Di hari keempat, tepatnya pada Kamis 16 September 1999, satu flight pesawat BAe Hawk 109/209 disiapkan di flight line Lanud El Tari, Kupang.
Misi rutin patroli (Combat Air Patrol) sesuai arahan Panglima Koopsau II yang memerintahkan tembak jatuh pesawat apa pun yang melintasi wilayah udara Indonesia tanpa izin karena situasi 'panas' kala itu.
Bertindak sebagai flight leader hari itu Kapten Pnb Azhar "Gundala" Aditama dengan wingman Kapten Pnb Henri "Tucano" Alfiandi bersama Lettu Pnb Anton "Tomcat" Mengko.
Kapten Azhar menerbangkan Hawk 209 TT-1207 kursi tunggal. Sedangkan Kapten Henri dan Lettu Anton menggunakan Hawk 109 TL-0501 kursi tandem.
Kala itu, TNI AU hanya menempatkan tiga Hawk 109/209 di Kupang. Kedua pesawat lepas landas sekitar pukul 09.00 waktu setempat.
Patroli dilaksanakan ke arah tenggara (225 derajat) menuju batas Flight Information Region (FIR) Darwin, Australia.
Koordinasi dilakukan dengan Satuan Radar (Satrad) 251 Kupang yang mengoperasikan Radar Ground Control Interception (GCI) dipimpin Mayor Lek Haposan.