JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi Undang-Undang TNI dinilai membuka peluang kasus penghilangan paksa layaknya kasus buruh perempuan Marsinah terulang di masa yang akan datang.
Hal itu disampaikan peneliti Centra Initiative Feri Kusuma dalam diskusi "RUU TNI: Kajian Kritis dalam Konteks Gerakan Sosial Buruh dan Demokrasi," Jumat (21/7/2023).
"Besar kemungkinan, salah satu contoh kasus tentang Marsinah akan terulang di masa yang akan datang. Bahkan mungkin selama ini juga sudah terulang, hanya kadar-kadar yang berbeda," ujar Feri.
Dia mengatakan, kekhawatiran revisi UU TNI bukan hanya dirasakan dalam bentuk ancaman terhadap keselamatan.
Tetapi juga sebagai ancaman kelangsungan negara demokrasi di Indonesia.
Baca juga: Panglima TNI Sebut Pilot Susi Air Sehat, Upaya Negosiasi dengan KKB Terus Dilakukan
"Karena ada banyak sekali aspek yang pelru kita perhatikan dari materi yang dibahas dalam UU TNI ini," imbuh dia.
Dia menyebut beberapa permasalahan hukum yang mungkin terjadi dalam RUU TNI ini seperti konflik kepentingan dan sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Karena RUU TNI memungkinkan para tentara bersenjata tidak lagi bertugas semata sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga sebagai alat keamanan.
Baca juga: ASN, TNI, dan Polri yang Ikut Kampanye Pemilu Bisa Dipenjara 1 Tahun
"Fungsi dan tugas TNI menjadi multifungsi, tidak ada batasan, membahayakan atau merupakan ancaman terhadap negara hukum dan demokrasi," kata dia.
Kemudian melanggengkan praktik impunitas, karena TNI yang melakukan tindak pidana akan diproses di pengadilan militer yang sangat tertutup.
Terakhir, RUU ini dinilai tidak dibutuhkan oleh masyarakat demokrasi saat ini.
Di acara yang sama, Wakil Ketua Forum Serikat Buruh Pekerja Indonesia (FSBPI) Jumisih menceritakan kisah Marsinah, buruh pabrik yang tewas karena memperjuangkan hak-hak buruh perempuan di tahun 1993.
"Marsinah itu adalah buruh perempuan pabrik arloji di Sidoarjo. Dia bersama teman-temannya mogok di pabrik, menuntut upah, menuntut cuti haid," ucap Jumasih.
Sejurus setelah aksi mogok, Marsinah kehilangan teman-teman aksinya. Sejurus kemudian Marsinah mengetahui teman-temannya dibawa ke Kodim Sidoarjo untuk melakukan perundingan bersama perwakilan pabrik.
Karena perundingannya berada di Kodim, Marsinah keberatan, ia marah-marah kepada para tentara di tempat itu.
"Itu hari terakhir Marsinah terlihat oleh teman-temannya, setelah itu Marsinah tidak ada. Mati, mayatnya ditemukan 3 hari kemudian di wilayah Nganjuk, Jatim," kata Jumasih.
"Itu tragis, Orde Baru mensetting kematian Marsinah sebagai buruh perempuan yang berani memimpin pemogokan, dan hasilnya adalah mati," pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.