JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw menilai bahwa usulan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja untuk menunda Pilkada Serentak 2024 tak masuk akal.
Sebelumnya, Bagja menilai, pilkada perlu ditunda karena potensi ancaman keamanan. Sebab, pasukan keamanan tersebar di wilayah masing-masing lantaran pilkada berlangsung serentak, sehingga perbantuan personel keamanan hampir sulit dilakukan.
"Kalau dia ditunda ke tahun depannya lagi, ya di semua tempat serentak juga. Sehingga, tetap tidak bisa ada pengerahan pasukan dari tempat lain untuk mengamankan kalau terjadi kerusuhan misalnya," ungkap Jeirry pada Sabtu (15/7/2023).
Baca juga: Usulan Penundaan Pilkada 2024: Bawaslu Beri Penjelasan, Pemerintah Sebut Hanya Curhat
Seandainya memang itu menjadi kekhawatiran, maka yang perlu diubah adalah desain keserentakan pilkada, agar pemungutan suara tetap dilaksanakan bergelombang.
Artinya Pilkada 2024 tetap dihelat di tahun yang sama namun berbeda hari.
"Atau paling tidak per tahun ya," ujar Jeirry.
Masalahnya, hal ini juga sama tidak memungkinkannya. Sebab, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengamanatkan pelaksanaan pilkada serentak mulai tahun 2024, pada bulan November.
Ketentuan itu merupakan tindak lanjut dari putusan MK setahun sebelumnya soal pemilu serentak. Mahkamah menilai, keserentakan pemilu diperlukan untuk memperkuat sistem presidensial.
Baca juga: KSP: Sepanjang UU Belum Diubah, Tidak Ada Skenario Penundaan Pilkada 2024
Pilkada 2024 digelar serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2022, 2023, 2024, dan 2025.
Total, ada 37 provinsi (minus DI Yogyakarta), 415 kabupaten, dan 98 kota yang bakal berpartisipasi dalam pilkada serentak seluruh daerah sepanjang sejarah Indonesia ini.
Wakil Ketua Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi, mengamini bahwa potensi kekerasan memang tinggi pada pilkada.
Pramono yang notabene mantan komisioner KPU RI menjelaskan bahwa sampai saat ini, profil pilkada di Indonesia belum berubah, di mana terdapat sentimen kedekatan yang tinggi antara pendukung dan kandidat yang maju kontestasi. Ini yang kerapkali memicu konflik.
"Jadi kalau dalam pilkada, apalagi tingkat kabupaten/kota itu seringkali calon itu dikenal secara pribadi oleh pemilihnya. Jadi, dia itu pamannya atau teman sekolahnya, atau bapaknya temannya, jadi memang dekat sekali dengan kehidupan pribadi warga di situ," jelas Pramono ketika dihubungi pada Jumat (18/11/2022).
Penelusuran Kompas.com, terjadi beberapa peristiwa yang melibatkan pembakaran dan pengrusakan sampai bentrok antara simpatisan kandidat yang tak jarang dipicu dari anggapan tidak netralnya pemerintah daerah dan penyelenggara pemilu.
Baca juga: Bawaslu Usul Pilkada Ditunda, Polri: Kami Siap Amankan Pemilu Serentak 2024
Pada 29 April 2006, Pemilihan Bupati (Pilbup) Tuban, Jawa Timur, rusuh. Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Palopo, Sulawesi Selatan, juga bernasib sama pada 31 Maret 2013, berujung rusaknya banyak fasilitas.