JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Atas putusan itu, pemilu di Indonesia tetap menerapkan sistem proporsional terbuka.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah tak sependapat dengan para pemohon yang mendalilkan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka memperluas terjadinya praktik politik uang dan tindak pidana korupsi.
Menurut Mahkamah, sistem pemilu apa pun sama-sama berpotensi menimbulkan terjadinya praktik politik uang.
“Masalah politik uang dan tindak pidana korupsi sebenarnya lebih disebabkan karena sifatnya yang struktural, bukan sekadar disebabkan dari pilihan sistem pemilihan umum yang digunakan,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).
Baca juga: MK: Pernyataan Denny Indrayana Merugikan Kami
Dalam sistem pemilu proporsional tertutup misalnya, kata Saldi, praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elite partai politik dengan para calon anggota legislatif (caleg).
Para caleg akan berupaya dengan segala cara berebut “nomor urut jadi”, agar peluang keterpilihannya semakin besar. Praktik jual-beli kandidasi dan nomor urut (nomination buying) ini termasuk salah satu bentuk politik uang.
Sementara, dalam sistem proporsional terbuka, praktik politik uang pun terbuka lebar. Dalam hal ini, caleg yang punya sumber finansial besar punya amunisi lebih untuk memengaruhi pemilih.
“Artinya, praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan tindak pidana korupsi tidak dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan tudingan disebabkan oleh sistem pemilihan umum tertentu,” ucap Saldi.
Untuk menekan terjadinya politik uang dalam pemilu, Mahkamah berpandangan, sedikitnya ada tiga langkah konkret yang bisa dilakukan secara simultan. Pertama, komitmen partai politik dan caleg untuk tidak terjebak dalam praktik politik uang.
Kedua, penegakan hukum terhadap praktik politik uang tanpa membeda-bedakan latar belakang. MK menilai, caleg yang terbukti terlibat praktik politik uang harus dibatalkan pencalonannya dan diproses secara hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Bahkan, untuk efek jera, partai politik yang terbukti membiarkan berkembangnya praktik politik uang dapat dijadikan alasan oleh pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik yang bersangkutan,” kata Saldi.
Baca juga: MK Bakal Laporkan Denny Indrayana ke Organisasi Advokat, Termasuk yang di Australia
Langkah ketiga, masyarakat perlu diberikan kesadaran dan pendidikan politik untuk tidak menerima dan menolerir praktik politik uang. Peningkatan kesadaran ini tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, negara, dan penyelenggara pemilu, tetapi juga partai politik, masyarakat sipil, dan pemilih.
“Sikap ini pun sesungguhnya merupakan penegasan Mahkamah, bahwa praktik politik uang tidak dapat dibenarkan sama sekali,” tandas Saldi.
Untuk diketahui, uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan pada 14 November 2022. Gugatan yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU/XX/2022 itu menyoal sejumlah ketentuan, di antaranya Pasal 168 ayat (2) tentang sistem pemilu.
Lewat gugatan tersebut, para pemohon meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.