JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dinilai hendak lari dari tanggung jawab ketika menyatakan penuntasan secara yudisial atas 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) menunggu keputusan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Pernyataan yang seolah-olah merujuk ketentuan Undang-Undang Pengadilan HAM ini adalah kekeliruan sekaligus bentuk larinya pemerintah dari tanggung jawab yang melekat dalam peraturan perundangan," kata Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, dalam keterangan pers yang dikutip pada Senin (8/5/2023).
Fatia mengatakan, selama ini yang menjadi hambatan dari proses yudisial terhadap kasus pelanggaran HAM berat, yang terjadi sebelum adanya UU Pengadilan HAM, adalah keengganan Kejaksaan Agung untuk memproses Laporan Penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan.
Menurut Fatia, dalam kerangka kekuasaan eksekutif, keseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial dapat diukur dengan kinerja Kejaksaan Agung sebagai salah satu bagian di dalamnya.
Baca juga: Kontras Desak Pemerintah Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat Lewat Proses Hukum
Selain itu, kata Fatia, alibi yang seolah seperti melempar tanggung jawab penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial hanya kepada Komnas HAM dan DPR RI dapat dipatahkan dengan kenyataan belum adanya Keputusan Presiden untuk Pengadilan HAM Ad Hoc atas Peristiwa Penghilangan Paksa 1997–1998.
"Padahal jauh sebelumnya, DPR RI telah merekomendasikan langkah hukum Pengadilan HAM untuk kasus tersebut kepada Pemerintah sejak 2009," ucap Fatia.
Fatia mengatakan, perdebatan mengenai tahapan tindak lanjut dari penyelidikan Komnas HAM juga telah secara jelas diputus oleh Mahkamah Konstitusi lewat Putusan MK Nomor 18/PUU/V/2007.
Inti putusan itu adalah kewenangan penuh atas penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu bukan berada di tangan DPR RI untuk serta-merta membentuk Pengadilan HAM ad hoc.
Sedangkan sebelum bisa masuk ke tahapan usulan atau rekomendasi Pengadilan HAM ad hoc oleh DPR RI, Komnas HAM harus melaporkan penyelidikan dan Kejaksaan Agung melaporkan hasil penyidikan atas pelanggaran HAM berat di Indonesia.
"Dengan demikian, jalan penyelesaian yudisial sebenarnya tidak ada kebuntuan jika Presiden dapat secara tegas memerintahkan Jaksa Agung untuk melanjutkan ke tahap penyidikan atas hasil kerja Komnas HAM. Bukan dengan alibi menunggu adanya keputusan DPR RI," ujar Fatia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menyatakan pemerintah menolak menyampaikan permintaan maaf atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Hal itu disampaikan Mahfud dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan usai rapat membahas kelanjutan penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (2/5/2023) lalu.
Baca juga: Mahfud: Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Ada 12, Tidak Bisa Ditambah
Mahfud menyatakan pemerintah tidak meminta maaf atas 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu berdasarkan rekomendasi penyelesaian non yudisial.
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non yudisial itu tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/4/2023).
"Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah," tegasnya.