KONGRES Perempuan Pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta, menjadi cikal-bakal kelahiran berbagai federasi lintas agama dalam memperjuangkan nasib perempuan di Indonesia.
Ada ragam persoalan perempuan yang disampaikan dalam kongres itu: kekerasan, perkawinan anak, perburuhan, pendidikan perempuan, konservatisme beragama, perempuan sebagai komoditas politik, dan ragam persoalan lain.
Hampir seabad kemudian dari pertemuan para perempuan revolusioner tersebut, rupanya kita masih harus bersua dengan soal yang sama pula.
Persoalan kemiskinan, kesehatan, kekerasan, ekonomi dan pendidikan, perkawinan paksa, ketidakmampuan mengambil keputusan, beban ganda perempuan, perempuan adat kehilangan peran, serta kesetaraan gender dengan ragam bentuknya—seperti marjinalisasi, pelebelan kelas dua, diskriminasi, dan sebagainya.
Satu isu kritis yang tak kalah penting adalah, Pemerintah perlu memprioritaskan ketersediaan layanan dan mengusahakan penurunan angka kematian ibu dan balita.
Beban kematian ibu dan anak sangat tinggi. Pada 2017 saja, tercatat 300.000 ibu meninggal selama dan setelah kehamilan atau persalinan. Selain itu, lebih dari 5 juta balita meninggal saban tahun.
Angka itu mestinya menyadarkan kita semua betapa pentingnya mengurusi soal perempuan dan dinamika kehidupannya sehari-hari.
Kita perlu mengambil langkah nyata dan tepat demi memperhatikan kualitas kehidupan kaum perempuan dan bahu membahu memutuskan mata rantai isu-isu kritis perempuan. Sebab perempuan adalah pilar utama menuju Indonesia emas 2024 dan Indonesia Maju 2045.
Sebagai Ketua Forum Daerah Usaha, Kecil dan Menengah Sumatera Utara, penulis tertarik mengamati dinamika perempuan Indonesia terkini, dengan menautkannya pada gerakan Making Indonesia 4.0 yang merupakan program Pemerintah dalam menyiapkan Indonesia menghadapi era industri digital 4.0.
Peran perempuan pelaku UMKM sejauh ini, aktor wirausaha yang menguasai pelantar digital, jejaring sosial, penggunaan big data, kreator konten, adalah kunci utama pemberdayaan perempuan menuju Indonesia maju.
Jika paragraf di atas kami lanjutkan, maka sudah bisa dipastikan inang-inang di pasar akan paham ke mana arah tujuannya.
Dua dasawarsa silam, mereka tentu tak pernah berpikir jika hari ini berjualan sayuran atau pakaian, juga bisa dilakukan di lokapasar dengan bantuan internet.
TikTok termasuk media sosial yang paling banyak digunakan kaum perempuan saat mereka menjajakan barang dagangannya.
Tanpa perlu bertungkus lumus belajar teknologi informatika, ujug-ujug mereka jadi paham apa itu algoritma, optimisasi mesin pencari, dan tagar agar usaha mereka tumbuh berkembang.
Mereka sadar, meski secara perlahan bahwa zaman menuntut anak-anaknya untuk mengakrabi produk teknologi dalam laku keseharian. Termasuk dalam ranah bisnis.