JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, tantangan pada pemilihan umum (Pemilu) 2019 akan terulang kembali di tahun 2024.
Pasalnya, menurut Titi, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada batal direvisi pada tahun 2021 silam.
"Karena instrumen hukumnya tidak berubah, maka tentu saja hal-hal yang bisa dievaluasi dan diperbaiki melalui perbaruan regulasi itu kan tidak bisa dilakukan sehingga rata-rata tantangan yang dihadapi sebagai konsekuensi pelaksanaan pemilu di 2019, punya potensi terjadi kembali di 2024," ujar Titi saat dikonfirmasi, Kamis (13/4/2023).
Ia mengungkapkan, tidak adanya revisi UU tersebut hanya akan menambah potensi kompleksitas pada Pemilu 2024, karena akses perubahan kebijakannya ditutup.
Baca juga: KPU Akan Perbarui Aturan Kampanye untuk Pemilu 2024, Bakal Soroti Medsos
"Istilahnya gini, potensi masalah yang terjadi kan seharusnya bisa diatasi melalui peraturan yang lebih baik, tapi kan ternyata itu tidak bisa didapatkan karena tidak terjadi perubahan kebijakan," kata Titi.
Ragam permasalahan pada Pemilu 2019 yang berpotensi terulang di Pemilu 2024, salah satunya soal ketidaksiapan logistik dan petugas Pemilu dalam menghadapi Pemilu 2024 nanti.
Ia mencontohkan, pada Pemilu 2019 sempat terjadi surat suara yang tertukar di 3.371 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Selain itu, tercatat 894 petugas pemilu meninggal dunia dan 5.175 mengalami sakit.
"Pemilu yang besar, rumit, dan kompleks, akibatnya muncul masalah distribusi logistik Pemilu serta petugas Pemilu yang bekerja terlalu berat dan mengakibatkan kelelahan," ujar Titi.
Lebih lanjut, Titi mengatakan tantangan lain pada Pemilu 2024, yakni pemilihan anggota penyelenggara Pemilu, berbarengan dengan tahapan Pemilu 2024.
Baca juga: KPU Siap jika Prima Ajukan Kasasi soal Tunda Pemilu
"Kan sekarang sedang berlangsung rekrutmen penyelenggara Pemilu, ya. Termasuk, di bulan Februari 2024 itu ada 5 provinsi yang akan berakhir masa jabatannya, salah satunya adalah Jawa Timur," katanya.
Kebijakan ini juga merupakan imbas dari batalnya revisi Pasal 167 ayat (4) UU Pemilu yang mensyaratkan masa keanggotaan penyelenggara Pemilu yang mampu mengimplementasikan keseluruhan tahapan dalam satu kesatuan yang utuh dan integral, bukan malah dilakukan pergantian anggota KPU pada saat tahapan Pemilu berlangsung.
Menurut Titi, berakhirnya masa jabatan anggota KPU yang berbarengan dengan tahapan Pemilu 2024 pada bulan Februari nanti hanya akan mengganggu penyelenggaraan, kinerja, dan fokus kerja Pemilu.
"Apalagi, kalau misalnya yang terpilih ini adalah orang-orang baru, yang belum sepenuhnya mampu beradaptasi dengan kerja-kerja teknis dan kompleksitas Pemilu," ujarnya.
Belum lagi, konflik dan masalah hukum yang biasanya terjadi usai tahapan seleksi Pemilu nanti semakin menambah keruwetan dan mengganggu konsentrasi Pemilu 2024 jika tidak diselesaikan dengan baik.
"Kan selesai seleksi itu biasanya ada masalah yang mengikuti, ya. Apakah ada keberatan dari yang tidak lolos atau pun pelaporan dari DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)," kata Titi.
Baca juga: Jelang Pemilu 2024, Komnas HAM Bentuk Tim Pemantauan Hak Pilih Warga Negara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.