Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengamat Sebut Kasus Transaksi Janggal Rp 349 T Muncul karena Budaya Korupsi yang Mengakar

Kompas.com - 31/03/2023, 11:39 WIB
Adhyasta Dirgantara,
Bagus Santosa

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Philips J Vermonte mengatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak pernah hilang dari dulu hingga sekarang. Akibatnya, korupsi justru menjadi budaya di Indonesia.

Hal tersebut Philips sampaikan merespons adanya transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Mulanya, Philips menegaskan, terlepas dari apakah uang sebesar itu dikorupsi atau tidak, bagaimanapun juga semua uang itu merupakan uang rakyat, bukan uang kementerian ataupun direktorat-direktorat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Dana siapa ini? Dana masyarakat lah. Dana masyarakat yang dibajak, dialihkan secara ilegal oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi ini bukan uangnya Bea Cukai, bukan uangnya Kemenkeu, bukan uang Ditjen Pajak, tapi itu dana-dana yang terkumpul dari masyarakat dan kemudian melalui cara-cara yang ilegal," ujar Philips dalam program Satu Meja Kompas TV, seperti dikutip Jumat (31/3/2023).

Baca juga: Rafael Alun Tersangka: Gara-gara Polah Anak, Dugaan Korupsi Puluhan Miliar Rupiah Diungkap KPK

Philips mengatakan, akar masalah dari transaksi janggal Rp 349 triliun adalah perihal budaya korupsi yang sudah mengakar.

Dia menjelaskan, bedanya korupsi di zaman dulu dan saat ini hanya berbeda metode yang lebih canggih.

Philips lantas mengutip pernyataan Wakil Presiden pertama Mohammad Hatta atau Bung Hatta perihal korupsi di Indonesia yang sudah menjadi budaya.

"Bung Hatta sudah pernah bilang dari dulu, korupsi itu sudah membudaya di Indonesia. Artinya kita ini yang menyedihkan nih, Pak Trimed. Memang enggak berubah, dari sisi cara-cara kita menghadapi korupsi dan bagaimana orang-orang melihat perilaku koruptif ini," tuturnya.

Semua bermula karena Mario Dandy

Kemudian, Philips menyebut semua transaksi mencurigakan ini terbongkar ketika anak eks pejabat di Ditjen Pajak Rafael Alun, Mario Dandy, memukuli anak berinisial D.

Dari masalah Mario, Rafael ikut terkena dampaknya. Mario menjadi tersangka penganiayaan, sementara ayahnya menjadi tersangka gratifikasi.

Philips mendapati fenomena yang terjadi saat ini adalah banyaknya pejabat beserta keluarganya yang selalu menggunakan power yang mereka punya untuk mendapat keuntungan.

"Fenomenanya adalah itu kan power syndrome. Orang punya power sedikit, lalu dia gunakan untuk di exercise, untuk dapat keuntungan. Ayahnya (Rafael) eselon III, dengan kekuasaan eselon III dia bisa mengakumulasi demikian banyak. Karena ada power yang dia bisa exercise," jelas Philips.

Baca juga: KPK Sebut Gratifikasi yang Diterima Rafael Alun Berupa Uang

"Di Bea Cukai juga sama, yang diceritakan masyarakat beberapa ke belakang, bagaimana insiden di Bea Cukai, orang pulang dari luar negeri, dan lain-lain, itu dia punya power memang, dan punya kewenangan yang diberikan. Tapi dia exercise dengan cara yang berlebihan," sambungnya.

Philips mengatakan penggunaan power oleh para pejabat ini menjadi pekerjaan rumah untuk Indonesia.

Sebab, menurut Philips, pelaksanaan penyalahgunaan power itu dimulai dari level paling bawah, baru ke atas.

"Dan karena itu menurut saya, pandangan kita tentang kekuasaan, tentang bagaimana kekuasaan dikontrol, itu yang menurut saya enggak hilang. Karena semua orang exercise power. Ini yang menurut saya sangat berbahaya," imbuh Philips.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com