JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Nasional (DPC SPN) Kabupaten Morowali dan Morowali Utara mengecam Pemerintah Kabupaten Morowali Utara menyusul kerusuhan yang terjadi di lingkungan PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) pada Sabtu (14/1/2023) malam yang menyebabkan satu pekerja asing dan satu pekerja lokal tewas.
Kecaman ini disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Buruh di Jakarta, Senin (16/1/2023).
"Kami selaku Ketua DPC SPN Morowali mengecam keras hal-hal yang telah dilakukan oleh dinas tenaga kerja dan pemerintah daerah. Mereka selalu melindungi hanya sepihak, hanya khusus untuk pihak pengusaha, namun apa yang menjadi kepentingan buruh di Morowali tidak dipedulikan pemerintah setempat sama sekali," ungkap Ketua DPC SPN Morowali dan Morowali Utara, Katsaing.
Hal yang sama dikemukakan oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal. Ia bahkan meminta agar dilakukan tindakan tegas terhadap Dinas Ketenagakerjaan Morowali Utara.
"Periksa Bupati Morowali Utara," tegas Said dalam kesempatan yang sama.
"Partai Buruh mengecam Bupati Morowali Utara dan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Morowali Utara karena berdasarkan laporan, hanya sepihak selalu melindungi kepentingan pengusaha. Itu yang dirasakan para buruh. Sebaiknya mundur," tambahnya.
Said juga meminta agar pemerintah pusat turun langsung memeriksa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di PT GNI.
Di Rakernas, Said Iqbal mengungkapkan latar belakang masalah yang memicu bentrok pekerja di PT GNI.
Said menyebut bahwa para pekerja telah lama mengeluhkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) perusahaan tersebut.
Ia mengungkap adanya kematian 2 pekerja--g1 perempuan dan 1 laki-laki--akibat buruknya K3.
"Dua orang ini sedang bekerja, listrik mati, tungkunya meledak dan mereka tidak bisa melompat karena tinggi sekali," kata Said.
"Kami meminta pemerintah pusat, bukan daerah, memeriksa K3 perusahaan nikel itu. Itu berbahaya sekali. Penyelesaian memang sudah ada dalam rupa pemberian santunan tapi teman-teman (pekerja) ini merasa terancam karena K3 di sana buruk sekali, menurut informasi yang kami terima," ucap Said.
Masalah kedua adalah kenaikan upah pekerja yang disebut jauh dari memuaskan.
Said mengeklaim, para pekerja yang telah mendedikasikan diri sebagai buruh bertahun-tahun hanya mendapatkan kenaikan upah sekitar Rp 75.000, sedangkan gaji mereka diklaim di kisaran Rp 3,6 juta.
Upaya komunikasi dan negosiasi dengan pihak manajemen lokal disebut berlangsung buntu dan pekerja merasakan adanya arogansi dari pihak manajemen.