Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasal Pidana Mati Dikritik, Tim KUHP Pemerintah: Tak Pernah Pikirkan Perasaan Korban

Kompas.com - 24/12/2022, 17:56 WIB
Ardito Ramadhan,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggtoa Tim Perumus Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pemerintah Yenti Garnasih mengaku heran banyak pihak yang mengkritik ketentuan pidana mati dalam KUHP terbaru.

Menurut Yenti, masyarakat semestinya memikirkan para korban yang meninggal akibat perbuatan pelaku kejahatan, bukan malah pelakunya.

"Kalau berbicara begitu, kita kadang-kadang khawatir ya, khawatir lebih banyak pespektif melihat 'pelaku jangan diini-inikan, pelaku jangan dini-inikan', tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan korban, bagaimana korban itu," kata Yenti dalam diskusi yang digelar Partai Perindo di Jakarta, Sabtu (24/12/2022).

Baca juga: Menkumham: Hukuman Mati Menunggu 10 Tahun karena Manusia Bisa Berubah, Aku Tahu Seseorang...

Yenti mengaku tak sependapat dengan anggapan yang menyebut hanya Tuhan yang bisa mencabut nyawa manusia, dalam hal ini dengan menjatuhkan hukuman mati.

Sebab, menurut Yenti, para pelaku kejahatan pun sebetulnya tidak boleh membunuh orang lain.

 

"Tadi disampaikan, yang boleh mencabut nyawa manusia hanya Tuhan, ketika dia melajukan pembunuhan dengan sangat keji, memang dia Tuhan boleh membunuh warga negara kita dengan sangat keji?" kata Yenti.

Ia mengatakan, pidana mati juga diperlukan untuk mencegah berulangnya kejahatan yang dilakukan seseorang.

Baca juga: RKUHP Disahkan, Pelaku Begal sampai Jambret hingga Korban Meninggal Terancam Hukuman Mati

Yenti pun menegaskan, ketentuan pidana mati si KUHP baru telah dimodifikasi sehingga ada masa percobaan selama 10 tahun bagi terpidana yang dijatuhi hukuman mati.

"Dalam 10 tahun dinilai, kalau bagus dipindah ke seumur hidup atau 20 tahun, jadi ada tenggat waktu 10 tahun," ujar Yenti.

Ia menambahkan, pidana mati pun masih diberlakukan di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, negara-negara Asia Tenggara, dan negara-negara Islam.

Diketahui, penerapan hukuman mati di Indonesia kerap menuai kritik dari berbagai kalangan, khususnya yang berkutat dengan isu hak asasi manusia (HAM).

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, hukuman mati sebagai ironi karena kebijakan tersebut justru bertentangan dengan konstitusi dan beberapa instrumen hukum internasional

Pasal 28I Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa hak untuk hidup sebagai salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Selain ketentuan hukum nasional, penghormatan terhadap hak hidup seseorang juga diatur dalam beberapa instrumen internasional.

Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) mengatur, setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu.

Kemudian, Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Opsional Protokol Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menyebutkan, setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com