Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Furqan Jurdi
Praktisi Hukum dan Penulis

Aktivis Muda Muhammadiyah

Putusan Politik Mahkamah Konstitusi

Kompas.com - 03/11/2022, 09:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA merasa heran sekaligus kaget membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Pengujian Pasal 170 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Mahkamah Konstitusi memutuskan, bagi menteri yang mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya.

Keheranan saya semakin menjadi-jadi ketika Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum point [3.12.3] Mahkamah berpendapat, "untuk memberi perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara in casu untuk dapat dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden".

Sikap Mahkamah sebagaimana dalam butir di atas sangat berbeda (baca: inkonsistensi) ketika puluhan gugatan yang diajukan oleh perorangan warga negara, partai politik, anggota DPD RI, mengenai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU Pemilu.

Dalam pokok permohonan mengenai ambang batas Pencalonan Presiden, secara umum mendalilkan, pemberlakuan Presidential threshold merampas hak pemilih untuk mendapatkan calon presiden yang bervariasi (untuk pemohon perorangan), membatasi partai politik peserta pemilu untuk mengajukan calon atau kader terbaik mereka (pemohon partai politik) dan membatasi tokoh-tokoh bangsa yang potensial dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden (pemohon bakal calon presiden atau wakil presiden seperti Yusril Ihza Mehendra, Rizal Ramli dll)

Dalam pengujian Pasal 222 UU Pemilu, lembaga yang dipimpin Anwar Usman, adik Ipar Joko Widodo, menyebutkan bahwa pasal 222 adalah syarat pencalonan presiden, dan tidak ada hubungannya dengan "kesempatan yang sama in casu pencalonan presiden dan wakil presiden".

Rakyat tetap bisa memilih calon presiden, partai politik yang tidak mencapai ambang batas bisa berkoalisi, dan seterusnya.

Dari dua alasan Mahkamah itu saya berpendapat, Mahkamah "bermuka dua" dalam isu mengenai hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan memilih (right to candidate).

Terlihat lebih buruk lagi, ketika Ketua MK itu membacakan frasa "maka pembatasan tersebut adalah bentuk diskriminasi terhadap partai politik saat mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon presiden dan wakil presiden."

Sadar atau tidak, Mahkamah "hipokrit" terhadap pembatasan pasal 222 UU Pemilu itu.

Kalau memang Mahkamah konsisten, maka pertimbangan hukum terhadap pengujian Pasal 222 harus sama, yaitu diskriminasi politik.

Diskriminasi terlihat jelas dalam ketentuan pasal 222 itu, karena tidak memberikan perlakuan yang sama (sangat tidak adil) bagi warga negara yang memiliki hak pilih dalam pemilu, tidak adil terhadap putra-putri terbaik bangsa yang potensial dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden, dan tidak memperlakukan partai politik secara adil untuk mencalonkan kader terbaiknya dalam pilpres.

Terlepas putusan MK yang demikian, putusan pengadilan tetap kita hormati. Namun kalau MK tidak menghormati dirinya sendiri dengan putusan-putusan yang tidak berkualitas dan berpihak pada konstitusi, bagaimana kita menghormati putusan Mahkamah itu?

Dari berbagai putusan MK, saya menduga, sejauh mengenai isu pemilu, lembaga ini menjadi tunggangan atau ditunggangi oleh kepentingan politik dan partai politik.

Karena semua yang menguntungkan partai politik dan jabatan politik telah diakomodasi oleh Mahkamah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Nasional
Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Nasional
Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Nasional
Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Nasional
Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Nasional
Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Nasional
Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com