JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendorong Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengevaluasi penunjukan anggota TNI dan Polri untuk ditempatkan sebagai penjabat (Pj) Kepala Daerah.
Anggota Divisi Hukum Kontras Andrie Yunus menilai, langkah itu penting agar tidak terjadi dwi fungsi sebagaimana yang pernah berlaku pada masa Orde Baru.
"Langkah ini selain bertentangan dengan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, juga hanya akan membangkitkan hantu dwi fungsi TNI-Polri sebagaimana terjadi pada era Orde Baru," ujar Andrie dalam konferensi pers, Jumat (2/9/2022).
Di sisi lain, Kontras bersama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengecam pembangkangan Tito Karnavian yang mengabaikan dan tidak menindaklanjuti rekomendasi sementara Ombudsman RI.
Berdasarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) atas aduan dugaan malaadministrasi yang dilaporkan oleh tiga lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu, Kemendagri dinyatakan telah terbukti melakukan maladministrasi dalam prosedur pengangkatan Pj Kepala Daerah dan mengabaikan kewajiban hukum atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menambahkan, Mendagri telah diberi tenggat waktu 30 hari untuk melaksanakan tindakan korektif tersebut. Namun, hingga hari ini, Tito tidak juga melaksanakan rekomendasi sementara Ombudsman dalam LAHP dan tidak menunjukan itikad baik hingga habisnya tenggat waktu tersebut.
Baca juga: Mendagri Sebut Sudah Bersurat ke DPRD DKI soal Pj Gubernur Pengganti Anies
"Padahal, tindakan korektif yang dikeluarkan Ombudsman penting untuk mendorong proses perbaikan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, bersih, dan terbuka sesuai dengan prinsip Good Governance and Smart Government," kata Kurnia.
Adapun dalam LAHP tersebut, Ombudsman memberikan tiga tindakan korektif kepada Mendagri. Pertama, menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan pihak pelapor. Kedua, meninjau kembali pengangkatan penjabat kepala daerah dari unsur TNI aktif.
Ketiga, menyiapkan naskah usulan pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja hingga pemberhentian penjabat kepala daerah.
Selain itu, kata Kurnia, pemberian tindakan korektif oleh Ombudsman bersifat mengikat secara hukum dan wajib dijalankan dalam rentang waktu 30 hari berdasarkan Pasal 16 Peraturan ORI Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tata Cara Investigasi atas Prakarsa Sendiri.
Baca juga: Mendagri Klaim Terima Aspirasi agar Pj Gubernur DOB Papua Dijabat Orang Luar
"Sehingga, tidak taatnya Mendagri atas hal tersebut menunjukan bahwa Mendagri melakukan pembangkangan, tidak memahami peraturan perundang-undangan, etika antar lembaga negara, dan mencerminkan sikap penyelenggara negara yang amat tidak patut," ujar Kurnia.
"Terlebih, kedudukan Menteri Dalam Negeri, secara eksplisit disebut dalam nomenklatur Undang-Undang Dasar 1945 dan memiliki peranan vital dalam penyelenggaraan negara," ucap aktivis antikorupsi itu.
Tak hanya itu, kata Kurnia, dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menegaskan bahwa kementerian yang membidangi urusan dalam negeri sebagaimana disebut dalam Pasal 5 Ayat (1) menyelenggarakan fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakannya di bidangnya.
"Dalam konteks ini, telah terjadi kekosongan hukum mengenai peraturan pengangkatan hingga pemberhentian Penjabat Kepala Daerah yang merupakan urusan pemerintahan yang fungsinya berada di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri," kata Kurnia.
Baca juga: IKN Tak Gelar Pemilu 2024, Mendagri Usul Badan Otorita Diawasi DPR RI
"Sehingga, tidak ada alasan apapun bagi Mendagri selain melaksanakan tindakan korektif Ombudsman," imbuhnya.