JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah negara sudah melonggarkan status Covid-19 sebagai penyakit berbahaya serta melonggarkan penggunaan masker dan penerapan isolasi mandiri. Namun, Indonesia tidak termasuk di antara negara-negara tersebut.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Mohammad Syahril mengatakan, keputusan ini diambil lantaran Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) belum mencabut kewaspadaan terhadap pandemi.
Dengan begitu, Indonesia mengambil langkah yang lebih hati-hati agar pandemi bisa dikendalikan. Dalam memutuskan kebijakan, pemerintah RI lebih memilih untuk memberlakukannya secara bertahap.
Baca juga: Masker Sekali Pakai Bahayakan Kehidupan Satwa Liar di Masa Depan
"Memang dari WHO itu belum ada declare kapan pencabutan pandemi. Untuk Indonesia memang kita sangat hati-hati dan melakukan secara bertahap," ucap Syahril dalam konferensi pers update Health Working Group G20 Ketiga di Jakarta, Kamis (18/8/2022).
Syahril mengungkapkan, kehati-hatian yang diambil pemerintah bukan tanpa alasan. Pelonggaran kebijakan pada masa pandemi Covid-19 harus disesuaikan dengan kemampuan negara tersebut.
Bagaimana pun, kapasitas sarana kesehatan di Indonesia masih jauh berbeda dengan kapasitas di negara-negara maju.
"Beberapa negara kita lihat ada yang melaksanakan kebijakan sendiri-sendiri, melonggarkan pemakaian masker termasuk melonggarkan isolasi mandiri. Itu adalah kewenangan di masing-masing negara dengan pertimbangan masing-masing," ucapnya.
Indonesia sendiri pernah melonggarkan pemakaian masker di luar ruangan. Namun selang sebulan pasca kebijakan diambil, pemerintah kembali mewajibkan pemakaian masker baik di luar maupun di dalam ruangan.
Tarik-ulur kebijakan ini juga terlihat dalam syarat perjalanan menggunakan transportasi kapal laut, pesawat udara, dan kereta api. Terbaru, pemerintah mewajibkan masyarakat menunjukkan hasil negatif tes PCR bagi yang belum mendapat vaksinasi booster.
"Artinya (kebijakan ini) situasional. Ini menyebabkan pengambilan keputusan memang diperuntukkan bagi kemaslahatan masyarakat banyak," tutur dia.
Lebih lanjut Syahril menjelaskan, masyarakat di negara maju sudah lebih sadar dibanding di negara berkembang.
Dia mencontohkan, warga AS tetap berada di rumah selama 5-7 hari untuk isolasi mandiri saat terinfeksi Covid-19.
"Karena ini memang membutuhkan suatu budaya dan kemapanan dari suatu negara. Untuk isoman saat ini kita masih melakukan, dengan maksud adalah betul-betul kita akan kurangi transmisi penularan itu," sebut Syahril.
Baca juga: Pemerintah Tarik Kebijakan Pelonggaran Masker di Luar Ruangan, Epidemiolog: Keputusan Tepat
Sebagai informasi dikutip Bangkok Post, Komite Penyakit Menular Nasional (NCDC) Thailand telah memutuskan untuk menurunkan peringkat Covid-19 dari penyakit menular berbahaya menjadi penyakit menular dalam pengawasan mulai 1 Oktober.
Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand Anutin Charnvirakul.
Adapun Covid-19 dinyatakan sebagai penyakit menular yang berbahaya pada akhir Februari 2020 oleh NCDC. Artinya, otoritas kesehatan merespons lebih cepat untuk mencoba menahan wabah.
Dengan diturunkannya peringkat Covid-19, otoritas kesehatan tidak akan lagi memiliki kekuatan untuk memaksa pasien atau penderita melakukan isolasi diri selama 14 hari.
Selain Thailand, sejumlah negara seperti Italia, Spanyol, Inggris, Denmark, negara-negara bagian di AS, dan Singapura, telah melonggarkan penggunaan masker dan penerapan isolasi mandiri.
Italia misalnya, kembali mengizinkan warganya melepas masker saat berada di luar ruangan atau rumah. Begitu pun dengan Singapura yang telah memperbaharui aturan terkait hidup bersama Covid-19.
Baca juga: Warga Singapura Tak Wajib Pakai Masker di Luar Ruangan Mulai 29 Maret
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.