Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antoni Putra
Peneliti dan Praktisi Hukum

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kini peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta.

Putusan MK yang Tidak Dihormati

Kompas.com - 06/06/2022, 07:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi melalui putusan perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, dan memerintahkan penangguhan segala kebijakan strategis dan berdampak luas terkait UU Cipta Kerja.

Mahkamah juga melarang pemerintah menerbitkan seluruh Peraturan Pelaksana yang terkait beleid tersebut.

Sayangnya, hal ini tidak dipatuhi oleh Pemerintah yang terkesan menjadikan Putusan tersebut sebagai Putusan yang tak dihormati.

Sejauh yang bisa dilacak, setidaknya terdapat dua peraturan pelaksana baru yang dikeluarkan Pemerintah setelah putusan MK tersebut dibacakan pada 25 November 2021.

Pertama, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah yang ditantadangani pada 27 Desember 2021.

Kedua, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2022 tentang Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah yang ditetapkan pada 25 Februari 2022.

Terbitnya dua peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah melalui presiden dan menteri-menterinya secara terbuka telah melanggar Putusan MK.

Pada poin 3 amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dilakukan perbaikan.

Selama proses perbaikan tersebut belum dilakukan, pada amar putusan poin 7 juga secara tegas memuat perintah larangan menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan UU Cipta Kerja yang bersifat strategis dan berdampak luas.

Mematuhi Putusan MK

Secara konstitusional, dengan merujuk pada Pasal 24C UUD 1945, Putusan MK adalah final dan mengikat (final and binding).

Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum dan berlaku mengikat sesuai dengan asas erga omnes.

Dalam konteks ini, secara konstitusional, mematuhi putusan MK adalah kewajiban mutlak, bukan hanya bagi DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang (UU), tetapi untuk seluruh pihak terkait dan setiap orang di Indonesia.

Bila konsep konstitusional putusan MK tersebut ditarik kepersoalan penerbitan dua peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja tersebut di atas, maka Pemerintah bukan saja tidak mematuhi Putusan MK, namun juga mengingkari konstitusi yang secara tegas menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.

Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 secara tegas melarang Pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang baru sampai dilakukannya perbaikan.

Dalam konteks ini, status dari UU Cipta Kerja saat ini adalah inskonstitusional secara bersyarat.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com