UU Cipta Kerja memang masih berlaku, namun hal itu terbatas untuk memberi legitimasi terhadap tindakan-tindakan atau yang telah dilakukan sebelum adanya putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, termasuk untuk memberikan legitimasi terhadap peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang sudah dibentuk.
Sementara setelah adanya putusan MK, Pemerintah dilarang mengeluarkan segala bentuk kebijakan baru yang berhubungan dengan UU Cipta Kerja, terutamanya yang bersifat strategis dan berdampak luas, termasuk di dalamnya mengeluarkan peraturan pelaksana yang baru.
Dalam konteks ini, UU a quo dalam pembentukan kebijakan dan Peraturan Pelaksana baru statusnya adalah inskonstitusional, baru akan menjadi konstituional bila syarat-syarat yang diminta oleh MK, yakni perbaikan UU Cipta Kerja telah sepenuhnya dijalankan.
Seharusnya, bila merujuk pada sifat dari putusan MK, dua peraturan pelaksana yang terbit setelah putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 tidaklah memiliki landasan hukum dan dikeluarkan secara illegal. Oleh sebab itu, dua peraturan pelaksana tersebut seharusnya batal demi hukum.
Pemerintah dalam menerbitkan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja mesti menjadikan putusan MK sebagai acuan mutlak.
Dalam hal ini, mematuhi putusan MK bagi Pemerintah adalah kewajiban secara konstitusional serta kewajiban moral dan hukum dari Pemerintah, sekalipun Pemerintah tidak bersepakat atau tidak setuju dengan putusan tersebut.
Dalam hal ini, bila Pemerintah taat terhadap konstitusi, maka Pemerintah harus mencabut dua peraturan pelaksana “ilegal” tersebut.
Bila Pemerintah enggan mencabut, maka hal itu tidak hanya tidak mematuhi putusan MK, tapi juga mengingkari konstitusi yang secara tegas menyatakan bahwa Putusan MK dalam pengujian Undang-Undang adalah bersifat final.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.