Oleh: One Herwantoko dan Sudarsono*
MUDIK tahun ini memang istimewa. Pertama, ini adalah mudik bebas pertama, tanpa pembatasan sejak pandemi.
Kedua, mudik tahun ini adalah golden week, libur panjang bersama, selama sepuluh hari.
Balitbang Kemenhub memperkirakan jumlah pemudik tahun ini mencapai 85,6 juta orang, yang mudik ke seluruh penjuru tanah air.
Dari segi moda transportasi, 40,2 juta orang (46,96 persen) pemudik menggunakan kendaraan pribadi mobil dan motor.
Selebihnya memanfaatkan transportasi umum, yaitu darat (30,96 persen), kereta api (9,99 persen), udara (9,99 persen), laut (2 persen), dan lainnya (0,11 persen).
Nilai simbolik dan harapan fiksional
Dominasi kendaraan pribadi mobil dalam arus mudik dapat dikupas dari berbagai sudut pandang sosiologi ekonomi transportasi masa kini.
Pertama, dalam pandangan Beckert (2016), nilai dan kualitas suatu komoditas, selain berdimensi fungsi dan kualitas material, juga berdimensi nilai simbolik.
Mobil, di satu sisi, berfungsi sebagai alat transportasi, dan di lain sisi, memiliki nilai simbolik. Yang terakhir ini menggambarkan makna (meaning) di luar nilai material dan fungsional barang itu.
Bagi Beckert (2016), nilai simbolik ini menggambarkan harapan fiksional (fictional expectation) dari tatanan sosial dan moral masyarakat atas suatu barang.
Selama ini, kita memahami mudik sebagai fenomena religi dan sosio historis silaturahmi.
Namun, dari perspektif sosiologi ekonomi, mudik juga dapat dipahami sebagai arena sosial, ke dalam mana para pemudik “mempertunjukkan” dinamika perubahan sosial-ekonomi kepada sanak saudara, tetangga, kerabat dan sahabat masing-masing di kampung.
Dalam kerangka ini, mobil dapat menampilkan simbol status perbaikan sosial-ekonomi, yang paling mudah diperlihatkan oleh pemudik, dan sekaligus paling gampang terlihat oleh orang sekitar di kampung masing-masing.
Dengan kata lain, mobil memiliki nilai simbolik tinggi, dan inilah gambaran atas harapan fiksional masyarakat.