JAKARTA, KOMPAS.com - Kebebasan untuk merayakan tahun baru Imlek secara terbuka di era reformasi menjadi tonggak sejarah penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Meski begitu, Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri, juga memiliki peran pada perayaan Imlek di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, Gus Dur menghapuskan larangan merayakan Imlek di muka umum dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000.
Keppres itu mematahkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China yang dikeluarkan Presiden Soeharto.
Baca juga: Mengenang Gus Dur Sebagai Bapak Tionghoa Indonesia dalam Perayaan Imlek
Kebijakan Gus Dur itu kemudian disempurnakan oleh Megawati yang menetapkan perayaan Imlek sebagai hari nasional baru, 2 tahun setelahnya.
Penetapan tersebut disampaikan Megawati saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 pada 17 Februari 2002.
Lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002, Megawati menjadikan perayaan Imlek sejak tahun 2003 sebagai hari libur nasional.
"Menetapkan hari tahun baru imlek sebagai hari nasional," demikian bunyi Keppres yang dikeluarkan Megawati.
Baca juga: Warga Diimbau Rayakan Imlek dengan Terapkan Prokes Ketat dan Jangan Hura-hura
Dalam beberapa kali kesempatan, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sering mengungkapkan dukungannya terhadap etnis Tionghoa.
Pada perayaan Imlek tahun 2016, Megawati mengatakan, perayaan Imlek merupakan cermin merasuknya prinsip kebangsaan dalam benak masyarakat. Ia menganggap Imlek sebagai jembatan persaudaraan seluruh warga negara.
"Peringatan Imlek menjadi bagian dari jembatan persaudaraan serta menjadi fundamen yang kokoh bagi persatuan Indonesia dengan seluruh keanekaragamannya," kata Megawati, dikutip dari Kompas.com.