JAKARTA, KOMPAS.com - Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mendesak Pemerintah tak terburu-buru mengesahkan Revisi KUHP (RKUHP) dengan alasan perlu adanya evaluasi.
Peneliti The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menyatakan pemerintah tidak boleh asal cepat dan hanya bermodalkan sosialisasi untuk merevisi KUHP.
"Harus diingat kembali, bahwa RKUHP ditunda pengesahannya karena masalah substansi, maka pembahasan selanjutnya harus membuka ruang untuk perubahan substansial RKUHP," ujar Maidina dalam keterangan tertulis, Rabu (10/3/2021).
Dalam membuka ruang pembahasan itu, pihaknya meminta pemerintah tidak hanya melibatkan ahli hukum pidana, namun juga melibatkan multistakeholder dan ahli yang sektornya akan terdampak.
Baca juga: Selain UU ITE, KUHP Dinilai Perlu Direvisi untuk Hentikan Aksi Saling Lapor
Contohnya, ahli ekonomi atau bisnis, kesejahteraan sosial, kesehatan masyarakat, kriminologi dan ilmu relevan lainnya, termasuk masyarakat sipil.
"(Itu dilakukan) guna menjamin adanya evaluasi komprehensif berbasis data dan dan tidak hanya melakukan sosialisasi RKUHP yang tidak demokratis," kata Maidina.
Maidina mengatakan, pejabat Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebelumnya telah menyatakan pemerintah saat ini tengah menyisir ulang terhadap 14 isu krusial dalam RKUHP.
Berdasarkan pemantauan dan catatan kritis Aliansi Nasional Reformasi KUHP mulai draft RKUHP 2015 sampai draf RKUHP 2019, masalah RKUHP bukan menyisakan 14 permasalahan yang perlu diselesaikan.
Isu krusial yang tidak masuk dalam 14 permasalahan tersebut antara lain pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat, misalnya penyimpangan asas legalitas atau kriminalisasi yang tidak jelas pada Pasal 2 ayat (1), Pasal 597 RKUHP.
Selanjutnya, masalah pidana mati yang bertentangan dengan tujuan pemidanan pada Pasal 52, Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101 RKUHP).
Lalu, pengaturan "makar" dalam Pasal 167 RKUHP yang tidak tepat. Termasuk pengaturan tindak pidana penghinaan Pasal 439-448 RKUHP yang masih memuat pidana penjara yang sejauh ini luput dari perhatian pemerintah.
Untuk itu, kata Maidina, Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta pemerintah agar melakukan pembahasan ulang dengan tim ahli yang lebih luas.
Tak hanya itu, pemerintah juga diminta membuka seluas-luasnya perkembangan pembahasan draf RUU RKUHP terbaru dan catatan rapat terkait pembahasan substansi RKUHP sepanjang 2020-2021 yang pernah dilakukan kepada publik.
"Karena hal itu tetap harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan DPR pada seluruh rakyat Indonesia," katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menyatakan pentingnya resultante baru pada KUHP yang telah digunakan sejak zaman Kolonial Belanda.
Baca juga: Mahfud Dorong Percepatan Pengesahan Revisi UU KUHP
Mantan Ketua Mahkamah kontitusi ini (MK) ini menilai, hukum berubah sesuai dengan perubahan masyarakat atau ubi societas ibi ius.
Karena itu, UU hukum pidana yang sudah berumur lebih dari 100 tahun ini perlu diubah.
"Ketika terjadi proklamasi berarti terjadi perubahan masyarakat kolonial menjadi masyarakat merdeka. Masyarakat jajahan menjadi masyarakat yang tidak terjajah lagi. Nah makanya hukumnya harus berubah seharusnya," ujar Mahfud dalam webinar "RUU KUHP dan UU ITE", dikutip dari keterangan tertulis Kemenko Polhukam, Kamis (4/3/2021).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.