Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puluhan Akademisi Tolak Pengesahan UU Cipta Kerja

Kompas.com - 05/10/2020, 19:07 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Akademisi dari 30 perguruan tinggi menandatangani pernyataan menolak UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR pada Senin (5/10/2020).

Dalam pernyataan bersama secara tertulis kepada wartawan, Senin, para akademisi mengatakan, pengesahan UU tersebut terkesan memaksakan kehendak dan berada di luar batas kewajaran.

"Aturan itu tidak hanya berisikan pasal-pasal bermasalah di mana nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila dilanggar bersamaan tetapi juga cacat dalam prosedur pembentukannya," demikian petikan pernyataan para akademisi.

Baca juga: Fraksi Demokrat Walk Out dari Rapat Paripurna Pengesahan RUU Cipta Kerja

Selain itu, spirasi publik pun kian tak didengar, bahkan terus dilakukan pembatasan, seakan tidak lagi mau dan mampu mendengar apa yang menjadi dampak bagi hak-hak dasar warga.

Para akademisi pun mengkritik, setidaknya lima masalah mendasar dalam pasal-pasal dalam UU tersebut.

Pertama, soal masalah sentralisasi seperti kondisi Orde Baru.

Sebab, terdapat hampir 400-an pasal yang menarik kewenangan kepada presiden melalui pembentukan peraturan presiden.

Kedua, aturan itu anti-lingkungan hidup. Terdapat pasal-pasal yang mengabaikan semangat perlindungan lingkungan hidup, terutama terhadap pelaksanaan pendekatan berbasis resiko serta semakin terbatasnya partisipasi masyarakat.

Ketika, persoalan liberalisasi pertanian. Dalam aturan yang tertuang pada UU tidak akan ada lagi perlindungan petani ataupun sumberdaya domestik, semakin terbukanya komoditas pertanian impor, serta hapusnya perlindungan lahan-lahan pertanian produktif.

Keempat, persoalan pengabaian hak asasi manusia (HAM).

Pada pasal-pasal tertentu mengedepankan prinsip semata-mata keuntungan bagi pebisnis, sehingga abai terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, terutama perlindungan dan pemenuhan hak pekerja, hak pekerja perempuan, hak warga dan lain lain. 

Kelima, mengabaikan prosedur pembentukan UU.

Baca juga: 6-8 Oktober, Ribuan Buruh di Sumedang Turun ke Jalan Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja

Sebab, metode ‘omnibus law’ tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Akademisi pun mengingatkan, bagaimana mungkin sebuah UU dapat dibentuk tidak sesuai prosedur.

Terlebih, semua proses pembentukan hukum ini dilakukan di masa pandemi, sehingga sangat membatasi upaya memberi aspirasi untuk mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Mempertimbangkan permasalahan mendasar tersebut dan serta menyimak potensi dampak kerusakan yang akan ditimbulkannya secara sosial-ekonomi maka para akademisi dengan tegas menolak disahkannya UU Cipta Kerja.

Hingga pukul 17.30 WIB, penolakan ini telah ditandatangani 67 akademisi, yakni :

1. Hariadi Kartodihardjo (Institut Pertanian Bogor)

2. Muhammad Fauzan (FH Unsoed)

3. Susi Dwi Harijanti (FH Unpad)

4. Abdil Mughis Mudhoffir (Sosiologi Universitas Negeri Jakarta)

5. Feri Amsari (FH Universitas Andalas)

6. Dian Noeswantari (Pusham Ubaya Surabaya)

7. Beni Kurnia Illahi (FH Universitas Bengkulu)

8. Hendriko Arizal (FH Universitas Bung Hatta)

9. Herlambang P. Wiratraman (FH Universitas Airlangga)

10. Satria Unggul W.P (FH Universitas Muhammadiyah Surabaya).

11. Mohammad Isa Gautama (FIS Universitas Negeri Padang).

12. Herdiansyah Hamzah (FH Universitas Mulawarman)

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com