JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto menilai, media daring saat ini belum mampu menjadi forum bagi publik untuk menyampaikan kritiknya.
Ia mengingatkan, partisipasi publik melalui komentar dan tanggapan merupakan bagian melekat dalam jurnalisme.
Hal itu disampaikan Wijayanto sebagai catatan dalam peringatan Hari Pers Nasional 2020 yang jatuh pada Minggu (9/2/2020).
"Sayangnya, hal itu masih jarang kita temui dipraktikkan. Media daring kita masih banyak berkiblat pada media cetak konvensional," ucap Wijayanto, dalam siaran persnya.
"Bahkan lebih buruk lagi, jika media cetak masih menyediakan kolom khusus bertajuk surat pembaca, hampir tidak pernah ditemui ada media daring yang melakukan hal serupa," kata dia.
Baca juga: Hari Pers Nasional, Menko PMK Ingatkan Tantangan Lawan Hoaks
Ia mencontohkan, opini pembaca yang ada di Harian Kompas merupakan salah satu bentuk forum utama yang dihormati dan disegani.
Akan tetapi, kolom opini seperti itu tidak banyak ditemui di berbagai media daring.
"Media daring lebih banyak bertumpu pada berita. Kalaupun ada ruang bagi kolom untuk pembaca menulis, maka kolom itu tidak mendapat tempat yang disegani dan dicari pembaca sebagaimana dilakukan Kompas," kata dia.
Di sisi lain, ia menyatakan, walaupun media daring memiliki ruang komentar, seringkali dilakukan oleh akun anonim yang lebih menyerang konten media tersebut.
"Dengan cara yang niretika dan terlebih lagi nirfakta," ucapnya.
Baca juga: 4 Hal Penting Pidato Jokowi Saat Hari Pers Nasional di Kalsel, Melawan Information Disorder
Wijayanto juga mengatakan, pada era digital ini, lebih banyak berita sensasi belaka demi mendongkrak clickbait atau rating.
Padahal, pers juga bertanggung jawab menyajikan artikel penting dan relevan dengan cara yang menarik bagi pembaca.
"Salah satu berita sensasional yang mencari clickbait itu misalnya berita tentang mertua yang melaporkan menantunya terkait ukuran alat kelamin menantunya," kata Wijayanto.
Baca juga: AJI Jakarta: Jangan Abaikan Hak Jurnalis, dari Pemulihan Trauma, Cuti, hingga Uang Lembur
Topik tersebut, lanjut dia, sempat disoroti oleh banyak media daring. Meski topik tersebut tidak mengandung kebohongan, Wijayanto mengkritik topik seperti itu sekadar sensasi.
"Apa arti penting berita ini bagi publik selain hanya membagikan sensasi? Ini adalah berita tentang kasus hukum yang menyangkut perseorangan dan bukan tokoh publik yang dipilih dalam prosedur demokrasi," kata Wijayanto.
"Berita ini dengan berbagai variannya hanyalah mengejar klik dan rating alih-alih mengusung nilai-nilai jurnalistik," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.