Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Tolak Gugatan Eks Bupati Ogan Ilir Soal Pengguna Narkoba Ikut Pilkada

Kompas.com - 18/12/2019, 13:48 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016.

Pasal itu melarang seseorang dengan catatan perbuatan tercela mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Perbuatan tercela yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, dan berzina.

"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Hakim Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2019).

Baca juga: KALEIDOSKOP 2019: Batalnya Larangan Eks Koruptor Ikut Pilkada hingga Putusan MK

Pemohon dalam perkara ini adalah mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviadi.

Ahmad diketahui hanya menjabat selama satu bulan sebagai bupati, karena pada Maret 2016 lalu, ia kedapatan memakai narkoba.

Atas perbuatannya, Ahmad dijatuhi hukuman berupa rehabilitasi selama enam bulan. Ia pun kini hendak mencalonkan diri kembali di Pilkada 2020.

Namun, rencana Ahmad terancam gagal lantaran Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 melarang seseorang dengan catatan perbuatan tercela, termasuk pemakai narkoba, untuk ikut Pilkada.

Melalui permohonan uji materi, Ahmad meminta MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Baca juga: Eks Koruptor Boleh Ikut Pilkada, Johan Budi: Sudah Cacat Moral, Harusnya Dilarang

Dalam berkas permohonannya, Ahmad berargumen, setelah ia selesai menjalani proses rehabilitasi, dirinya telah terbebas dari ketergantungan narkotika, baik secara fisik, mental, maupun sosial.

Oleh karena itu, Ahmad merasa dapat kembali melakukan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Namun demikian, argumen Ahmad itu tidak sejalan dengan pandangan Mahkamah, karena para hakim menilai bahwa aturan mengenai pemakai narkoba dalam Undang-undang Pilkada sesuai dengan bunyi konstitusi.

"Telah tepat memasukkan pemakai narkotika terhadap perbuatan tercela, sehingga frasa pemakai narkotika dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Pilkada adalah konstitusional," ujar Hakim Anggota MK I Dewa Gede Palguna.

Dalam putusannya, Mahkamah justru menegaskan aturan tentang pemakai narkoba dalam UU Pilkada.

Baca juga: Patuhi MK, PDI-P Tak Akan Usung Eks Koruptor pada Pilkada 2020

Mahkamah menyebut bahwa pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, kecuali dalam tiga kondisi.

Pertama, pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat yang bersangkutan. Kedua, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi.

"Tiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi," ujar Palguna.

Untuk diketahui Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada berbunyi, "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wakil Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (i) tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian."

Pasal tersebut diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan yang tercantum di lembaran negara, bahwa yang dimaksud dengan "perbuatan tercela" antara lain judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina, serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya.

 

Kompas TV

Mulai 1 Januari 2020, Uni Eropa lewat Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization menggugat Indonesia. Gugatan terkait larangan ekspor bijih nikel. Dengan tegas Presiden Jokowi tak keberatan dengan gugatan tersebut. Menurutnya Indonesia selama ini tidak mendapatkan nilai tambah karena hanya mengekspor bijih nikel mentah selama puluhan tahun. Dalam kesempatan Musrenbang RPJMN di Istana Negara, Senin (16/12/2019), Jokowi sampaikan, "Barang, barang kita, nikel, nikel kita, mau ekspor mau enggak suka-suka kita. Ya, enggak?”. Adapun alasan larangan ekspor mineral mental sejalan dengan upaya hilirisasi agar industri peleburan dan pemurnian atau smelter di dalam negeri bisa berjalan.

Dikutip dari kompas.com Indonesia saat ini tercatat sebagai eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa. Nilai ekspor bijih nikel Indonesia mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18% pada kuartal kedua 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com